woensdag, augustus 26, 2009

Hadits-Hadits tentang Menghidupkan Malam Hari Raya [Takbiran Semalam Suntuk ?]

AHLAN WA SAHLAN


Abu Al-Jauzaa' :, 19 September 2008
Ketika malam hari raya, sudah menjadi tradisi pada sebagian masyarakat kita untuk berkumpul di masjid guna melakukan ibadah. Bahkan pada banyak daerah, kaum muslimin melakukan pawai atau kirab dengan mengumandangkan takbir. Orang Jawa bilang : ”Takbiran”. Yang kelas perkotaan, pawainya dengan mobil plus sound system lengkap bak kirab tujuhbelasan. Yang kelas kampung, cukup jalan kaki dengan membawa obor bambu. Walaupun bermacam-macam bentuk dan model, kebanyakan mereka mempunyai kesamaan motif dalam hal alasan melakukan perbuatan tersebut, yaitu : ibadah di malam hari raya (baik ’Iedul-Fithri maupun ’Iedul-Adlhaa) mempunyai keutamaan besar menurut syari’at. Namun, kita juga tidak menutup mata atas realitas bahwa banyak pula di antara mereka yang sekedar ikut-ikutan untuk hura-hura daripada di rumah tidak ada kerjaan. Lumayan bisa kumpul sama teman-teman dan ”kota-kota” [1].Sebagian asatidzah dan da’i yang menjadi motor kegiatan tersebut seringkali menyebut beberapa hadits yang mereka gunakan sebagai pijakan. Tentu saja, mereka lakukan itu untuk memenuhi aspek legalitas. Melalui tulisan ini, saya akan mengajak pembaca sekalian untuk mencermati validitas hadits-hadits yang mereka gunakan sehingga kita mengetahui seberapa legal aktifitas tersebut dari kaca mata syari’at. Jika legal, tentu saja itu termasuk sunnah yang sudah semestinya diamalkan lagi dilestarikan. Namun jika ilegal, maka dengan ”sangat menyesal” kita katakan bahwa hal itu adalah bid’ah yang wajib untuk kita tinggalkan.Beberapa hadits tersebut antara lain adalah :Pertama :
مَنْ أَحْيَا لَيْلَةَ الْفِطْرِ وَ لَيْلَةَ الْأَضْحَى , لَمْ يَمُتْ قَلْبُهُ يَوْمَ تَمُوْتُ الْقُلُوْبُ
”Barangsiapa yang menghidupkan malam ’Iedul-Fithri dan malam ’Iedul-Adlhaa, niscaya hatinya tidak akan mati pada hari matinya hati-hati”.Al-Haitsami berkata pada Al-Majma’ (2/198) : ”Diriwayatkan oleh Ath-Thabarani dalam Al-Kabiir dan Al-Ausath dari ’Ubadah bin Ash-Shaamit. Dan di dalamnya ada perawi yang bernama ’Umar bin Harun Al-Balkhiy. Yang lebih banyak ada padanya adalah kelemahan. Ibnu Mahdi dan yang lainnya memujinya, namun golongan yang banyak telah melemahkannya”.Asy-Syaikh Al-Albani berkata : ”Ibnu Mahdi mempunyai perkataan yang lain mengenai ’Umar bin Harun yang bertentangan dengan di atas dimana ia berkata : ’Ia tidak ada nilainya di sisiku” ! Ibnu Ma’in dan Shaalih Jazarah berkomentar tentang ’Umar bin Harun : ”Pendusta”. Hal yang sama dikatakan oleh Ibnul-Jauzi dalam Al-Maudlu’aat (2/142). Ibnul-Jauzi menyebutkan baginya sebuah hadits yang ia menuduhnya memalsukannya.Ibnu Hajar berkata dalam At-Taqrib (hal. 728 no. 5014) : ”Matruk”. Ibnu Hibban memasukkannya dalam jajaran perawi lemah dalam kitab Al-Majruuhiin (2/63 no. 650).Adz-Dzahabi mengumpulkan banyak jarh (celaan) atas dirinya dari para ulama dalam kitabnya Mizaanul-I’tidaal (3/228-229 no. 6237), diantaranya adalah : ”..... Telah berkata Ibnu Mahdi, Ahmad, dan An-Nasa’i : ’Matruk’. Yahya (bin Ma’in) berkata : ’Pendusta yang jelek’. Abu Dawud berkata : ’Tidak tsiqah’. ’Ali dan Ad-Daruquthni berkata : ’Dla’if jiddan (sangat lemah)’. Ibnul-Madini berkata : ’Dla’if jiddan’. Shalih Jazarah berkata : ’Pendusta’. Zakariyya As-Saajiy berkata : ’Padanya terdapat kelemahan’. Abu ’Ali An-Naisabury berkata : ’Matruk’.....”.Kesimpulannya, hadits ini adalah maudlu’ (palsu).Kedua :
مَنْ قَامَ لَيْلَتَي الْعِيْدَيْنَ مُحَتَسِّباً للهِ , لَمْ يَمُتْ قَلْبُهُ يَوْمَ تَمُوْتُ الْقُلُوْبُ
”Barangsiapa yang beribadah pada dua malam hari raya (yaitu ’Iedul-Fithri dan ’Iedul-Adlhaa), niscaya hatinya tidak akan mati pada hari matinya hati-hati”.Dikeluarkan oleh Ibnu Majah (1/542) dari Baqiyyah bin Al-Waliid, dari Tsaur bin Yaziid, dari Khaalid bin Mi’daan, dari Abu Umaamah secara marfu’. Berkata pengarang Az-Zawaaid : ”Sanadnya dla’if karena tadlis yang dilakukan Baqiyyah”. Al-’Iraqy berkata dalam Takhriij Al-Ihyaa’ (1/328) : ”Sanadnya dla’if”.Asy-Syaikh Al-Albani berkata : ”Tadlis yang dilakukan Baqiyyah ini adalah tadlis yang buruk, karena ia meriwayatkan dari para pendusta, dari orang-orang tsiqaat. Kemudian ia menggugurkan (tidak menyebutkan) para pendusta itu antara dia dan orang-orang tsiqaat tersebut, serta melakukan tadlis dari mereka. Maka sangat boleh jadi gurunya yang tidak disebutkan pada sanad hadits ini termasuk pada jajaran pendusta tadi”.Ibnul-Qayyim berkata mengenai petunjuk pada malam nahar (yaitu malam ’Iedul-Adlhaa) dalam kitab Al-Manaasik (1/212) : ”Kemudian beliau shallallaahu ’alaihi wasallam tidur hingga waktu shubuh. Beliau tidak menghidupkan malam tersebut. Tidak ada yang shahih satupun hadits yang berasal dari beliau shallallaahu ’alaihi wasallam yang berbicara tentang menghidupkan dua malam ’Iedain”.Kesimpulannya, hadits ini dla’if jiddan (sangat lemah).Ketiga :
مَنْ أَحْيَا اللَّيَالِيَ الْأَرْبَعَ وَجَبَتْ لَهُ الْجَنَّةُ , لَيْلَةَ التَّرْوِيَّةِ وَلَيْلَةَ عَرَفَةَ وَلَيْلَةَ النَّحْرِ وَلَيْلَةَ الْفِطْرِ
”Barangsiapa yang menghidupkan empat jenis malam, maka wajib baginya surga : Malam tarwiyyah (tanggal 8 Dzulhijjah), malam ’Arafah (tanggal 9 Dzulhijjah), malam Nahar (tanggal 10 Dzulhijjah), dam malam ’Iedul-Fithri (tanggal 1 Syawal)”.Diriwayatkan oleh Nashr Al-Maqdisi dalam satu juz dari kitab Al-Amaaliy (186/2) dari Suwaid bin Sa’iid, telah menceritakan kepadaku ’Abdurrahiim bin Zaid Al-’Ammiy, dari bapaknya, dari Wahb bin Munabbih, dari Mu’adz bin Jabal secara marfu’. Sanad hadits ini adalah maudlu’ (palsu) sebagaimana akan datang penjelasannya. As-Suyuthi membawakannya dalam Al-Jamii’ush-Shaghiir dari riwayat Ibnu ’Asakiir dari Mu’adz.Akan tetapi pensyarah kitab tersebut, yaitu Al-Munawi, telah memberikan kritikan dengan perkataannya : ”Ibnu Hajar berkata dalam Takhriij Al-Adzkaar : ’Hadits ghariib’. ’Abdurrahiim bin Zaid Al-’Ammiy yang merupakan salah satu dari para perawi hadits tersebut adalah matruk. Ibnul-Jauzi telah mendahului Ibnu Hajar dengan perkataannya : ’Hadits itu tidak shahih. Dan tentang ’Abdurrahiim ini, Yahya (bin Ma’in) berkata : Pendusta. Adapun An-Nasa’i berkata : Matruk”.Asy-Syaikh Al-Albani berkata : ”Dan Suwaid bin Sa’id adalah termasuk perawi yang lemah juga. Jadi sanad hadits tersebut adalah gelap, sebagian di atas sebagian yang lain. Hadits tersebut dibawakan oleh Al-Mundziri dalam At-Targhiib (2/100) dengan lafadh : ”...lima jenis malam”, dimana ia menambahkan di akhir hadits (selain dari empat jenis malam yang telah disebutkan sebagaimana di atas) : ”dan malam Nishfu Sya’ban”. Kemudian setelah itu Al-Mundziri berkata : ”Diriwayatkan oleh Al-Ashbahani”. Ia mengisyaratkan tentang kelemahan atau kepalsuan hadits tersebut.Kesimpulannya, hadits ini adalah maudlu’ (palsu).Dari ketiga hadits yang ada di atas dapat diketahui bahwa hadits-hadits itu tidak ada yang sah dari Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam. Maka, menyandarkan perbuatan menghidupkan malam ’Iedul-Fithri dan malam ’Iedul-Adlhaa pada sabda atau perintah Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam adalah tidak dibenarkan.Pada asalnya beribadah di waktu malam itu disyari’atkan, terutama pada sepertiga malam terakhir. Namun mengkhususkan diri untuk beribadah pada malam ’Iedain plus diiringi i’tiqad bahwasannya hal itu merupakan perintah yang dituntut dalam syari’at, maka masuk dalam katagori bid’ah. Jika dikembalikan pada awal perbincangan, maka amalan ini termasuk amalan illegal dalam Islam. Bahkan pada tataran realitas di lapangan, amalan ini malah banyak suplemen maksiatnya. Takbiran malam hari raya dijadikan ajang gaul dan mejeng bagi para muda-mudi. Ajang nongkrong bagi pemuda-pemuda pengangguran dengan ”genjrengan” gitar plus ketipung yang mengiringi alunan takbir. Penghambur-hamburan uang dengan diadakannya festival bedug (jadilah acara ini bid’ah di atas bid’ah). Mirisnya, festival bedug ini malah banyak disponsori oleh pabrik rokok. Dan yang lainnya. Akhirmya,..... setelah lelah bergadang semalaman dengan dalih takbiran, badan loyo mata ngantuk..... kumandang adzan shubuh di masjid malah tidak mereka sambut. Shalat shubuh pun kesiangan. Efek lanjutannya, shalat ’Ied pun bisa jadi mereka lakukan dengan penuh kelesuan. Ini di satu sisi. Adapun sisi lain, cara takbiran yang mereka lakukan pun tidak sesuai dengan tata waktu yang dicontohkan Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam.[2]Walhasil, ajakan di akhir tulisan ini hanyalah : Mari kita lakukan ap-apa yang dicontohkan, dan meninggalkan apa-apa yang tidak dicontohkan (apalagi yang jelas-jelas dilarang). Sederhana bukan ? Orang Jawa bilang : Gedhang woh pakel, ngomong gampang nglakoni angel. Ya,.... semoga kita tidak termasuk objek sindiran pepatah Jawa ini. Wallaahu a’lam.Abul-Jauzaa’.[takhrij hadits di atas terutama sekali bersandar pada kitab Silsilah Al-Ahaadits Adl-Dla’iifah wal-Ma’dluu’ah karya Asy-Syaikh Al-Albani 2/11-12 no. 520-522, Maktabah Al-Ma’arif, Cet. 5, 1412 – dengan sedikit tambahan dari Taqribut-Tahdzib karya Al-Hafidh Ibnu Hajar, tahqiq Abu Asybal Al-Bakistaniy, Daarul-’Ashimah, tanpa tahun; Al-Majruhiin minal-Muhadditsiin karya Al-Hafidh Ibnu Hibban, tahqiq Majdi ’Abdul-Majid As-Salafy, Daarush-Shumai’i, Cet. 1, 1420; dan Mizaanul-I’tidaal karya Al-Hafidh Adz-Dzahabi, tahqiq ’Ali Muhammad Al-Bajawi, Daarul-Ma’rifah, tanpa tahun]
Catatan kaki :
[1] Maksudnya : putar-putar kota.
[2] Sunnah telah memberikan penjelasan bahwasannya takbir hari raya ‘Iedul-Fithri dilakukan pada saat seseorang keluar dari rumahnya menuju tanah lapang untuk menunaikan shalat ‘Ied dan berakhir saat imam menegakkan shalat. Dasarnya adalah :

أن رسول الله صلى الله عليه وسلم كان يخرج يوم الفطر فيكبر حتى يأتي المصلى وحتى يقضي الصلاة فإذا قضى الصلاة قطع التكبير
“Bahwasannya bila beliau shallallaahu ‘alaihi wasallam keluar (dari rumah beliau) pada hari ‘Iedul-Fithri, maka beliau bertakbir hingga tiba di tanah lapang dan hingga ditunaikannya shalat. Apabila beliau telah menunaikan shalat beliau menghentikan takbir” [HR. Ibnu Abi Syaibah dalam Mushannaf-nya 4/192-193 no. 5667 dan Al-Muhamili dalam Kitab Shalatul-‘Iedaian dengan sanad mursal shahih. Namun memiliki pendukung yang menguatkannya. Dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Silsilah Ash-Shahiihah no. 171].Adapun takbir hari raya ‘Iedul-Adlhaa dilakukan semenjak fajar hari ‘Arafah (tanggal 9 Dzulhijjah) hingga berakhirnya hari Tasyriq (tanggal 13 Dzulhijjah) berdasarkan pengamalan dari beberapa orang shahabat seperti ‘Ali dan Ibnu Mas’ud radliyallaahu ‘anhuma [sebagaimana yang disitir oleh Ash-Shan’any dalam Subuulus-Salaam 2/101, Daarul-Hadits, Cet. 1, 1425 H].











jazakumullah

PENJELASAN RINGKAS IMAM AHLUS-SUNNAH TENTANG HADITS DATANGNYA MALAIKAT MAUT KEPADA NABI MUSA ‘ALAIHIS-SALAAM

AHLAN WA SAHLAN

Penulis
Abu Al-Jauzaa'


Ada sebuah hadits masyhur yang sering menjadi sasaran kritik oleh sebagian kalangan. Hadits tersebut adalah hadits yang menceritakan tentang Nabi Musa ’alaihis-salaam yang menampar malaikat maut ketika hendak mencabut nyawanya. Pada kesempatan ini saya akan menuliskan beberapa penjelasan ringkas (yang insyaAllah padat) dari kalangan imam Ahlus-Sunnah tentang pemahaman hadits dimaksud. Harapannya, tulisan ini dapat menjadi sumbangan amal kebajikan dalam rangka saling memberikan nasihat kepada kaum muslimin.
Adapun hadits yang dimaksud adalah sebagai berikut :
عن أَبي هُرَيْرَةَ قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : جَاءَ مَلَكُ الْمَوْتِ إِلَى مُوسَى عَلَيْهِ السَّلَام فَقَالَ لَهُ أَجِبْ رَبَّكَ قَالَ فَلَطَمَ مُوسَى عَلَيْهِ السَّلَام عَيْنَ مَلَكِ الْمَوْتِ فَفَقَأَهَا. قَالَ : فَرَجَعَ الْمَلَكُ إِلَى اللَّهِ تَعَالَى فَقَالَ : إِنَّكَ أَرْسَلْتَنِي إِلَى عَبْدٍ لَكَ لَا يُرِيدُ الْمَوْتَ وَقَدْ فَقَأَ عَيْنِي. قَالَ فَرَدَّ اللَّهُ إِلَيْهِ عَيْنَهُ وَقَالَ ارْجِعْ إِلَى عَبْدِي فَقُلْ الْحَيَاةَ تُرِيدُ فَإِنْ كُنْتَ تُرِيدُ الْحَيَاةَ فَضَعْ يَدَكَ عَلَى مَتْنِ ثَوْرٍ فَمَا تَوَارَتْ يَدُكَ مِنْ شَعْرَةٍ فَإِنَّكَ تَعِيشُ بِهَا سَنَةً قَالَ ثُمَّ مَهْ قَالَ ثُمَّ تَمُوتُ قَالَ فَالْآنَ مِنْ قَرِيبٍ رَبِّ أَمِتْنِي مِنْ الْأَرْضِ الْمُقَدَّسَةِ رَمْيَةً بِحَجَرٍ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَاللَّهِ لَوْ أَنِّي عِنْدَهُ لَأَرَيْتُكُمْ قَبْرَهُ إِلَى جَانِبِ الطَّرِيقِ عِنْدَ الْكَثِيبِ الْأَحْمَرِ
Dari Abi Hurairah radliyallaahu ta’ala ’anhu ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam : ”Malaikat Maut mendatangi Nabi Musa ’alaihis-salaam. Maka ia (Malaikat Maut) berkata berkata kepadanya : ’Penuhilan panggilan Tuhanmu !’. Maka Nabi Musa ’alaihis-alaam pun menampar muka Malaikat Maut sehingga matanya keluar. Kemudian Malaikat Maut kembali kepada Allah ta’ala dan berkata : ’Sesungguhnya Engkau telah mengutusku kepada seorang hamba yang tidak menginginkan kematian. Ia telah membuat mataku keluar’. Maka Allah ta’ala mengembalikan mata Malaikat Maut dan berfirman : ’Kembalilah kepada hamba-Ku (yaitu Musa) kemudian katakan kepadanya : Apakah engkau masih ingin hidup ?. Jika engkau masih ingin hidup, maka letakkan tanganmu di atas punggung sapi jantan. Setiap bulu yang dapat engkau tutupi dengan tanganmu, maka kamu hidup (bertambah umur) setahun’. Musa bertanya : ’Kemudian apa ?’. Allah berfirman : ’Kemudian engkau mati’. Maka Musa pun berkata : ’Jika demikian, sekarang (waktunya)! Wahai Rabb-ku, rupa-rupanya ajalku telah dekat. Maka dekatkanlah aku ke tanah suci sejauh jarak lemparan dengan menggunakan batu”. Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam bersabda : ”Demi Allah, seandainya aku beradadi dekatnya, tentu aku tunjukkan kepadamu kuburnya yang terletak di sebelah jalan di sisi bukit pasir merah” [HR. Al-Bukhari no. 1274, 3226; Muslim no. 2372; An-Nasa’i no. 2089; Ahmad no. 7634, 8157, 8601, 10917; Ibnu Hibban no. 6223, 6224; dan yang lainnya. Ini adalah lafadh Muslim].
Kemusykilan hadits tersebut dijelaskan sebagai berikut :
Al-Imam Ibnu Khuzaimah rahimahullah berkata :
أنكر بعض أهل البدع والجهمية هذا الحديث وقالوا لا يخلو أن يكون موسى عليه الصلاة والسلام عرف ملك الموت أو لم يعرفه فإن كان عرفه فقد استخف به وأن كان لم يعرفه فرواية من روى أنه كان يأتي موسى عيانا لا معنى لها ثم إن الله تعالى لم يقتص لملك الموت من اللطمة وفقء العين والله تعالى لا يظلم أحدا.قال ابن خزيمة وهذا اعتراض من أعمى الله بصيرته ومعنى الحديث صحيح وذلك أن موسى لم يبعث الله إليه ملك الموت وهو يريد قبض روحه حينئذ وإنما بعثه اختبارا وبلاءً كما أمر الله تعالى خليله بذبح ولده ولم يرد إمضاء ذلك ولو أراد أن يقبض روح موسى عليه الصلاة والسلام حين لطم الملك لكان ما أراد وكانت اللطمة مباحة عند موسى إذ رأى آدميا دخل عليه ولا يعلم أنه ملك الموت وقد أباح الرسول عليه الصلاة والسلام فقأ عين الناظر في دار المسلم بغير إذن ومحال أن يعلم موسى أنه ملك الموت ويفقأ عينه وقد جاءت الملائكة إلى إبراهيم عليه الصلاة والسلام فلم يعرفهم ابتداء ولو علمهم لكان من المحال أن يقدم إليهم عجلاً لأنهم لا يطعمون وقد جاء الملك إلى مريم فلم تعرفه ولو عرفته لما استعاذت منه وقد دخل الملكان على داود عليه الصلاة والسلام في شبه آدميين يختصمان عنده فلم يعرفهما وقد جاء جبريل عليه الصلاة والسلام إلى سيدنا رسول الله صلى الله عليه وسلم وسأله عن الإيمان فلم يعرفه وقال ما أتاني في صورة قط إلا عرفته فيها غير هذه المرة فكيف يستنكر أن لا يعرف موسى الملك حين دخل عليهوأما قول الجهمي إن الله تعالى لم يقتص للملك فهو دليل على جهله من الذي أخبره أن بين الملائكة والآدميين قصاصا و من أخبره أن الملك طلب القصاص فلم يقتص له وما الدليل على أن ذلك كان عمدا وقد أخبرنا نبينا صلى الله عليه وسلم أن الله تعالى لم يقبض نبيا قط حتى يريه مقعده في الجنة ويخبره فلم ير أن يقبض روحه قبل أن يريه مقعده من الجنة ويخبره
”Sebagian ahli bid’ah dan golongan Jahmiyah telah mengingkari hadits ini seraya berkata : ’Tidak peduli entah Musa mengenal Malaikat Maut tersebut atau tidak. Apabila mengenalnya, berarti Musa telah melecehkan kedatangannya. Dan bila tidak mengenalnya, maka riwayat yang menyebutkan bahwa malaikat tersebut datang kepada Musa dalam bentuk yang dapat dilihat mata, tidaklah berarti apa-apa sedikitpun. Tambah lagi, Allah tidak menegakkan hukum qishash bagi Malaikat tersebut, karena perilaku Musa. Padahal Allah tidak pernah mendhalimi siapapun’.
(Menanggapai perkataan ini), Ibnu Khuzaimah menjelaskan : ”Ini adalah hujatan orang yang telah dibutakan pandangannya oleh Allah. Makna hadits ini sudah benar. Allah tidak mengutus Malaikat Maut untuk mencabut nyawa Musa ’alaihis-salaam saat itu juga, tetapi Allah mengutusnya sebagai ujian dan cobaan sebagaimana Allah memerintahkan kekasih-Nya (Nabi Ibrahim ’alaihis-salaam) untuk menyembelih putranya, namun tidak mewujudkannya. Seandainya Malaikat itu bertujuan mencabut nyawa saat itu, tentu dia akan melaksanakannya ketika Musa menamparnya. Tamparan tersebut diperbolehkan bagi diri Nabi Musa ’alaihis-salaam, karena beliau melihat orang asing yang memasuki rumahnya. Sementara waktu itu beliau tidak mengetahui kalau yang datang tersebut adalah Malaikat Maut. Rasul shallallaahu ’alaihi wasallam telah memperbolehkan untuk mencongkel mata orang yang mengintip rumah orang tanpa ijin. Sungguh mustahil bila Musa mengetahui bahwa dia adalah Malaikat Maut lalu menamparnya hingga matanya keluar. Sungguh telah datang beberapa malaikat kepada Nabi Ibrahim ’alaihis-salaam sedang beliau awal kalinya tidak mengenal mereka. Seandainya tahu, tidak mungkin beliau menyuguhkan daging panggang kepada mereka, karena malaikat tidaklah makan. Demikian pula seorang malaikat yang pernah datang kepada Maryam dan ia tidak mengenalnya. Seandainya tahu, tidak mungkin Maryam berlindung darinya. Demikian pula dua malaikat pernah datang kepada Nabi Dawud ’alaihis-salaam dalam bentuk manusia yang sedang bersengketa di sisinya, sedang beliau tidak mengenalnya. Demikian pula datang Jibril kepada Nabi Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam dan bertanya kepada beliau tentang iman, sedang beliau shallallaahu ’alaihi wasallam tidak mengenalnya. Beliau bersabda : ”Jibril tidak pernah datang dalam bentuk rupa apapun melainkan aku mengetahuinya, kecuali kali ini”. Dengan demikian, lantas mengapa dianggap mustahil bila Musa tidak mengenal Malaikat Maut yang masuk ke rumahnya ?.
Adapun ucapan orang Jahmiyyah bahwa Allah tidak menegakkan hukum qishash bagi malaikat, maka ini menunjukkan kebodohannya, karena siapa yang mengkhabarkan (baca : mana dalilnya) dalam hal ini bahwasannya antara Malaikat dengan manusia itu ditegakkan hukum qishash ? Siapa yang mengkhabarkan kepadanya bahwa malaikat meminta qishash lalu Allah tidak memenuhinya ? Apa buktinya bahwa perilaku Nabi Musa tersebut didasari oleh unsur kesengajaan ? Nabi kita shallallaahu ’alaihi wasallam telah mengkhabarkan pada kita bahwa Allah tidaklah mencabut nyawa seorang nabi pun sebelum Dia memperlihatkan tempat duduknya di surga lalu memberitahukannya. Sehingga Allah juga tidak ingin mencabut nyawa Nabi Musa ’alaihis-salaam sebelum memperlihatkan tempat duduknya di surga dan mengkhabarkannya” [selesai – ’Umdatul-Qaari’ Syarh Shahih Al-Bukhari oleh Al-’Allamah Badruddin Al-’Aini rahimahullah juz 8 hal. 147–148; Multaqaa Ahlil-Hadiits – http://www.ahlalhdeeth.com/].
Al-Imam Ibnu Hibban rahimahullah (murid Al-Imam Ibnu Khuzaimah rahimahullah) berkata :
إن الله جل وعلا بعث رسول الله صلى الله عليه وسلم معلما لخلقه فأنزله موضع الإبانة عن مراده فبلغ صلى الله عليه وسلم رسالته وبين عن آياته بألفاظ مجملة ومفسرة عقلها عنه أصحابه أو بعضهم وهذا الخبر من الأخبار التي يدرك معناه من لم يحرم التوفيق لإصابة الحق وذاك أن الله جل وعلا أرسل ملك الموت إلى موسى رسالة ابتلاء واختبار وأمره أن يقول له أجب ربك أمر اختبار وابتلاء لا أمرا يريد الله جل وعلا إمضاءه كما أمر خليله صلى الله على نبينا وعليه بذبح ابنه أمر اختبار وابتلاء دون الأمر الذي أراد الله جل وعلا إمضاءه فلما عزم على ذبح ابنه وتله للجبين فداه بالذبح العظيم وقد بعث الله جل وعلا الملائكة إلى رسله في صور لا يعرفونها كدخول الملائكة على رسوله إبراهيم ولم يعرفهم حتى أوجس منهم خيفة وكمجيء جبريل إلى رسول الله صلى الله عليه وسلم وسؤاله إياه عن الإيمان والإسلام فلم يعرفه المصطفى صلى الله عليه وسلم حتى ولى فكان مجيء ملك الموت إلى موسى على غير الصورة التي كان يعرفه موسى عليه السلام عليها وكان موسى غيورا فرأى في داره رجلا لم يعرفه فشال يده فلطمه فأتت لطمته على فقء عينه التي في الصورة التي يتصور بها لا الصورة التي خلقه الله عليها ولما كان المصرح عن نبينا صلى الله عليه وسلم في خبر بن عباس حيث قال أمنى جبريل عند البيت مرتين فذكر الخبر وقال في آخره هذا وقتك ووقت الأنبياء قبلك كان في هذا الخبر البيان الواضح أن بعض شرائعنا قد تتفق ببعض شرائع من قبلنا من الأمم ولما كان من شريعتنا أن من فقأ عين الداخل داره بغير إذنه أو الناظر إلى بيته بغير أمره من غير جناح على فاعله ولا حرج على مرتكبه للأخبار الجمة الواردة فيه التي أمليناها في غير موضع من كتبنا كان جائزا اتفاق هذه الشريعة بشريعة موسى بإسقاط الحرج عمن فقأ عين الداخل داره بغير إذنه فكان استعمال موسى هذا الفعل مباحا له ولا حرج عليه في فعله فلما رجع ملك الموت إلى ربه وأخبره بما كان من موسى فيه أمره ثانيا بأمر آخر أمر اختبار وابتلاء كما ذكرنا قبل إذ قال الله له قل له إن شئت فضع يدك على متن ثور فلك بكل ما غطت يدك بكل شعرة سنة فلما علم موسى كليم الله صلى الله على نبينا وعليه أنه ملك الموت وأنه جاءه بالرسالة من عند الله طابت نفسه بالموت ولم يستمهل وقال فالآن فلو كانت المرة الأولى عرفه موسى أنه ملك الموت لاستعمل ما استعمل في المرة الأخرى عند تيقنه وعلمه به ضد قول من زعم أن أصحاب الحديث حمالة الحطب ورعاة الليل يجمعون ما لا ينتفعون به ويروون ما لا يؤجرون عليه ويقولون بما يبطله الإسلام جهلا منه لمعاني الأخبار وترك التفقه في الآثار معتمدا منه على رأيه المنكوس وقياسه المعكوس
”Sesungguhnya Allah Yang Maha Agung lagi Maha Tinggi telah mengutus Rasul-Nya shallallaahu ’alaihi wasallam untuk mengajari makhluk-Nya, lalu Allah menurunkannya sebagai posisi penjelas terhadap kehendak-Nya. Selanjutnya, Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam menyampaikan risalah-Nya dan menerangkan ayat-ayat-Nya dengan lafadh-lafadh yang global maupun terperinci, yang dapat dipahami oleh para shahabatnya atau sebagian dari mereka. Dan hadits ini termasuk dari berita-berita Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam yang bisa ditangkap maknanya oleh orang yang tidak diharamkan mendapat taufik untuk mencapai yang hak. Demikianlah, bahwasannya Allah Yang Maha Agung lagi Maha Tinggi telah mengutus Malaikat Maut kepada Nabi Musa ‘alaihis-salaam dengan sebuah risalah sebagai ujian dan cobaan. Adapun perintah Allah untuk Malaikat Maut agar mengatakan kepada Nabi Musa : ”Penuhilan panggilan Tuhanmu” ; ini merupakan perintah sebagai ujian dan cobaan, dan bukanlah perintah yang Allah inginkan (secara terang-terangan) untuk melaksanakannya. Sebagaimana perintah Allah kepada kekasih-Nya (yaitu Nabi Ibrahim) – semoga shalawat atas Nabi kita dan Nabi Ibrahim – untuk menyembelih putranya merupakan perintah sebagai ujian dan cobaan. Bukan perintah yang Allah inginkan (secara terang-terangan) untuk melaksanakannya. Maka ketika Ibrahim berkeinginan keras untuk menyembelih putranya dan beliau telah membaringkan putranya di atas pelipisnya, Allah pun menggantinya dengan seekor sembelihan yang besar. Dan sungguh Allah telah mengutus para malaikat kepada Rasul-Rasul-Nya, dalam wujud yang mereka (para Rasul itu) tidak mengenalnya. Seperti malaikat-malaikat yang menemui Ibrahim, sedangkan ia tidak mengenali para malaikat itu sehingga timbullah rasa takut kepada mereka. Dan juga seperti datangnya Jibril kepada Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam dan ia bertanya kepada Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam tentang iman dan Islam, sementara Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam belum mengenalnya hingga Jibril pergi (barulah beliau mengetahuinya). Begitu pula datangnya Malaikat Maut kepada Musa ’alaihis-salaam bukan dengan wujud yang biasa dikenal oleh Musa, sedangkan Musa adalah seorang Nabi yang sangat kokoh (dalam memegang agamnya). Maka ketika melihat di dalam rumahnya ada seorang laki-laki yang tidak dikenalinya (dan menginginkan nyawanya), ia pun mengangkat tangannya lalu menampar malaikat tersebut. Tamparan Musa itu menjadikan mata malaikat itu buta dalam wujud jelmaannya. Bukan dalam wujud asli yang Allah ciptakan.
Adapun keterangan para malaikat datang terang-terangan kepada Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam terdapat dalam riwayat Ibnu ’Abbas radliyallaahu ’anhuma, dimana Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam bersabda : ”Jibril mengimamiku di dekat Ka’bah sebanyak dua kali” ; lalu disebutkan riwayatnya. Dan di akhirnya Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam bersabda : ”Ini adalah waktuku dan waktu para nabi sebelumku”. Pada hadits ini terdapat keterangan yang jelas bahwa sebagian syari’at kita memiliki kesamaan dengan sebagian syari’at umat-umat sebelum kita. Dimana termasuk dari syari’at kita adalah : Barangsiapa yang mencungkil mata seseorang yang masuk rumahnya tanpa ijin atau seseorang yang melihat ke dalam rumahnya tanpa perintahnya, maka tidak ada dosa bagi pelakunya dan tidak apa-apa terhadap yang melakukannya. Hal ini berdasarkan hadits-hadits yang menerangkan dalam permasalahan tersebut yang telah kami sampaikan di banyak tempat di dalam kitab-kitab kami. Jadi perbuatan tersebut diperbolehkan. Maka syari’at ini sesuai dengan syari’at Nabi Musa dalam hal tidak berdosanya orang yang mencungkil mata seseorang yang masuk rumahnya tanpa ijin. Dan Nabi Musa melakukan perbuatan tersebut karena diperbolehkan dan tidak ada dosa baginya untuk melakukannya. Ketika Malaikat Maut kembali kepada Rabbnya dan menceritakan apa yang terjadi pada dirinya dengan Nabi Musa, maka Allah memerintahkannya untuk yang kedua kalinya dengan perintah yang lain, yaitu perintah sebagai ujian dan cobaan, sebagaimana telah kami sebutkan sebelumnya. Allah mengatakan kepadanya : ”Katakan kepada Musa, jika engkau mau, letakkan tanganmu ke punggung sapi jantan. Maka engkau akan mendapatkan penangguhan (kematian) sejumlah bulu (sapi jantan) yang tertutupi tanganmu, dengan setiap bulunya terhitung satu tahun (penangguhan)”.
Ketika Musa Kalimullah – semoga keselamatan atas Nabi kita dan atas Nabi Musa – mengetahui bahwa orang itu adalah Malaikat Maut, dan ia datang membawa risalah dari Allah, maka dirinya merasa lebih baik untuk memilih kematian dan tidak menangguhnya. Nabi Musa berkata : ” Jika demikian, sekarang (waktunya)!”. Seandainya pada saat kedatangan yang pertama Nabi Musa telah mengetahui bahwa orang itu adalah Malaikat Maut, maka malaikat tersebut tidak perlu datang lagi kepada Nabi Musa untuk kedua kalinya dalam rangka untuk meyakinkannya.
Keterangan ini bertentangan dengan perkataan orang-orang yang menyangka bahwa Ashhaabul-Hadiits adalah para pembawa kayu bakar dan penjaga malam yang mengumpulkan hal-hal yang tidak bermanfaat, dan meriwayatkan hal-hal yang tidak bernilai pahala. Orang-orang tersebut mengatakan sesuatu yang dapat membatalkan keislaman mereka, karena mereka tidak mengetahui makna-makna dari hadits tersebut, serta meninggalkan tafaqquh (memahami agama) dan riwayat-riwayat. Kemudian mereka bersandar kepada akal dan qiyas yang berubah-rubah” [selesai – Shahih Ibni Hibban no. 6223 – Free Program from Islamspirit – http://www.islamspirit.com/].
Al-Imam An-Nawawi rahimahullah berkata :
قَالَ الْمَازِرِيّ : وَقَدْ أَنْكَرَ بَعْض الْمَلَاحِدَة هَذَا الْحَدِيث , وَأَنْكَرَ تَصَوُّره , قَالُوا كَيْف يَجُوزُ عَلَى مُوسَى فَقْء عَيْن مَلَك الْمَوْت ؟ قَالَ : وَأَجَابَ الْعُلَمَاء عَنْ هَذَا بِأَجْوِبَةٍ : أَحَدهَا أَنَّهُ لَا يَمْتَنِع أَنْ يَكُونَ مُوسَى صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَدْ أَذِنَ اللَّه تَعَالَى لَهُ فِي هَذِهِ اللَّطْمَة , وَيَكُون ذَلِكَ اِمْتِحَانًا لِلْمَلْطُومِ , وَاَللَّه سُبْحَانه وَتَعَالَى يَفْعَلُ فِي خَلْقه مَا شَاءَ , وَيَمْتَحِنُهُمْ بِمَا أَرَادَ . وَالثَّانِي أَنَّ هَذَا عَلَى الْمَجَاز , وَالْمُرَاد أَنَّ مُوسَى نَاظَرَهُ وَحَاجَّهُ فَغَلَبَهُ بِالْحُجَّةِ , وَيُقَالُ : فَقَأَ فُلَان عَيْن فُلَان إِذَا غَالَبَهُ بِالْحُجَّةِ , وَيُقَالُ : عَوَرْت الشَّيْء إِذَا أَدْخَلْت فِيهِ نَقْصًا قَالَ : وَفِي هَذَا ضَعْفٌ لِقَوْلِهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : " فَرَدَّ اللَّه عَيْنه " فَإِنْ قِيلَ : أَرَادَ رَدّ حُجَّته كَانَ بَعِيدًا . وَالثَّالِث أَنَّ مُوسَى صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَمْ يَعْلَمْ أَنَّهُ مَلَك مِنْ عِنْد اللَّه , وَظَنَّ أَنَّهُ رَجُلٌ قَصَدَهُ يُرِيدُ نَفْسَهُ , فَدَافَعَهُ عَنْهَا , فَأَدَّتْ الْمُدَافَعَةُ إِلَى فَقْءِ عَيْنِهِ , لَا أَنَّهُ قَصَدَهَا بِالْفَقْءِ , وَتُؤَيِّدُهُ رِوَايَة ( صَكَّهُ ) , وَهَذَا جَوَاب الْإِمَام أَبِي بَكْر بْن خُزَيْمَةَ وَغَيْره مِنْ الْمُتَقَدِّمِينَ , وَاخْتَارَهُ الْمَازِرِيّ وَالْقَاضِي عِيَاض
”Telah berkata Al-Maziri : Sebagian atheis mengingkari hadits ini beserta gambarannya dengan argumen : ”Bagaimana mungkin Nabi Musa mencongkel mata Malaikat Maut ?”. Maka para ulama menjawab syubhat ini dengan beberapa jawaban : Pertama ; Tidak mustahil bila Allah mengijinkan Musa ’alaihis-salaam untuk melakukan tamparan ini sebagai ujian dan cobaan bagi yang ditampar (yaitu Malaikat Maut), karena Allah melakukan pada makhluk-Nya sekehendak-Nya. Juga, menguji makhluk-Nya dengan sekehendak-Nya pula. Kedua ; Hal ini adalah majaz. Maksudnya, Musa hendak mendebat Malaikat dan adu argumentasi dengannya sehingga mengalahkannya. Dikatakan faqa-a fulaanun ’aina fulaanin apabila ia mengalahkan argumen lawannya. Tetapi pendapat ini lemah, karena sabda Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam : ”Lalu Allah mengambalikan matanya”. Bila dikatakan bahwa maksudnya adalah ”mengambalikan membantah hujjahnya” ; maka ini adalah jauh sekali. Ketiga ; Musa tidak tahu bahwa yang datang padanya adalah Malaikat utusan Allah. Musa mengira bahwa dia adalah orang asing yang menginginkan nyawanya, sehingga Musa harus membela dirinya dan menamparnya. Pembelaan ini membuat dirinya tanpa sengaja mencungkil matanya. Ini adalah jawaban Al-Imam Abu Bakr bin Khuzaimah dan yang lainnya dari kalangan ulama terdahulu. Pendapat ini juga dipilih oleh Al-Maziri dan Al-Qadli ’Iyadl” [Syarh Shahih Muslim oleh An-Nawawi hal. 1621–1622; Maktabah Al-Misykah – www.almeshkat.net/books].
Al-Imam Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin rahimahullah berkata (ketika mensyarah kitab Al-Imam Ibnu Qudamah Al-Maqdisi dalam Lum’atul-I’tiqaad) :
وهذا الحديث ثابت في الصحيحين وإنما أثبته المؤلف في العقيدة لأن بعض المبتدعة أنكره معللاً ذلك بأنه يمتنع أن موسى يلطم الملك. ونرد عليهم: بأن الملك أتى موسى بصورة إنسان لا يعرف موسى من هو؟ يطلب منه نفسه، فمقتضى الطبيعة البشرية أن يدافع المطلوب عن نفسه، ولو علم موسى أنه ملك لم يلطمه، ولذلك استسلم له في المرة الثانية حين جاء بما يدل أنه من عند الله، وهو إعطاؤه مهلة من السنين بقدر ما تحت يده من شعر ثور.
”Hadits ini terdapat dalam kitab Shahihain. Muallif (yaitu Ibnu Qudamah Al-Maqdisi) mencantumkan hadits ini dalam kitab ‘aqidahnya karena sebagian ahlul-bida’ mengingkarinya dengan alasan bahwasannya tidak mungkin Nabi Musa ‘alaihis-salaam menampar seorang malaikat. Maka kita bantah mereka, bahwasannya malaikat itu datang kepada Musa dengan wujud manusia. Dan Nabi Musa tidak mengetahui siapa orang tersebut. Maka tabiat manusia menuntut untuk mempertahankan jiwanya dari kehendak tersebut. Seandainya Musa mengetahui bahwa orang tersebut adalah malaikat, maka ia tidak akan menamparnya. Oleh karena itu, beliau pun mau (dicabut nyawanya) pada kesempatan kedua ketika Malaikat itu datang kembali dengan membawa bukti yang menunjukkan dirinya dari sisi Allah. Yaitu dengan memberi penangguhan (waktu kematian) kepada Nabi Musa bertahun-tahun lagi sesuai dengan banyaknya bulu sapi jantan yang ada di bawah tangannya” [selesai – Syarh Lum’atil-I’tiqaad oleh Fadlilatusy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin rahimahullah hal. 43; Maktabah Al-Misykah – www.almeshkat.net/books].
Dari nukilan penjelasan empat imam Ahlus-Sunnah di atas – segala puji hanya bagi Allah – menjadi teranglah apa yang sebelumnya nampak suram. Oleh karena itu, posisi Ahlus-Sunnah dalam pembahasan hadits ini sangatlah berbeda dengan ahlul-bida’. Selain mengingkari atau menta’wil (dengan ta’wil bathil), ahlul-bida’ – dengan hadits ini – telah berani mencela Nabi Musa ’alaihis-salaam sebagaimana sebagian tokoh mereka ada yang menuduh Nabi Musa ’alahis-salaam sebagai sosok yang cepat naik pitam (emosional). Innalillaahi wa innaa ilaihi raaji’uun.











jazakumullah

HALALKAH DAGING HYENA

AHLAN WA SAHLAN

Abu Al-Jauzaa' :, 18 Agustus 2009

Secara garis besar, para ulama telah berselisih pendapat dalam dua perkataan ketika membahas hukum daging hyena (adl-dlabu’) :
1. Mengharamkannya.
Ini adalah madzhab dari Abu Hanifah, Malik, Sa’id bin Al-Musayyib, Ats-Tsauriy, dan Ibnul-Mubaarak rahimahumullah [lihat Durrul-Mukhtaar – dengan hasyiyyah Ibni ‘Aabidiin – 5/194, Sunan Abi Dawud ma’a Ma’aalimis-Sunan 4/103, dan Tuhfatul-Ahwadzi 5/499-500] . Dalil mereka yang utama adalah :
عن أبي هريرة، عن النبي صلى الله عليه وسلم قال (كل ذي ناب من السباع، فأكله حرام).
Dari Abu Hurairah, dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda : “Setiap binatang buas (as-sibaa’) yang mempunyai taring, diharamkan untuk memakannya” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 1933].
Menurut mereka, hyena (adl-dlabu’) termasuk binatang buas[1] yang mempunyai taring.
2. Menghalalkannya.
Ini adalah madzhab Sa’d bin Abi Waqqaash, Ibnu ‘Abbas,, Atha’, Asy-Syaafi’iy, Ahmad, Ishaq (bin Rahawaih), dan Abu Tsaur rahimahumullah [lihat Mughnil-Muhtaj 4/299, Al-Muqni’ – dengan hasyiyyah-nya – 3/52, Sunan Abi Dawud ma’a Ma’aalimis-Sunan 4/103, Sunan At-Tirmidzi 2/198 no. 851, dan Tuhfatul-Ahwadzi 5/499-500]. Pendapat inilah yang dikuatkan oleh Ibnul-‘Arabiy, Al-Khaththaabiy, Ibnu Hajar, Ibnul-Qayyim, Asy-Syaukaniy, dan yang lainnya.
Dalil mereka yang utama adalah :
عن بن أبي عمار قال قلت لجابر : الضبع صيد هي قال نعم قال قلت آكلها قال نعم قال قلت له أقاله رسول الله صلى الله عليه وسلم قال نعم
Dari Abu ‘Ammaar ia berkata : Aku bertanya kepada Jaabir : “Apakah hyena (adl-dlabu’) termasuk hewan buruan ?”. Ia menjawab : “Ya”. Aku bertanya : “Bolehkah untuk memakannya ?”. Ia menjawab : “Ya”. Aku kembali bertanya kepadanya : “Apakah (pembolehan) itu dikatakan oleh Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam ?”. Ia menjawab : “Ya” [Diriwayatkan oleh At-Tirmidzi no. 851 & 1791, Abu Dawud no. 3801, Ibnu Majah no. 3085, ‘Abdurrazzaq no. 8682, Ibnu Hibbaan no. 3964, dan yang lainnya; shahih].
Asy-Syafi’iy berkata :
ما زال الناس يأكلون الضبع، ويتبعونه بين الصفا والمروة.
“Orang-orang senantiasa memakan hyena (adl-dlabu’) dan memperjual-belikannya antara Shafaa dan Marwah” [Ma’rifatus-Sunan wal-Aatsaar oleh Al-Baihaqiy, 14/87 – melalui Al-Hayawaanaat oleh Sulaiman Al-Khurasyiy, hal. 60].
Pendapat yang mengharamkan menyanggah pendalilan pihak yang menghalalkannya dengan beberapa point sebagai berikut :
a. Hadits Jaabir bukanlah hadits yang masyhuur, sedangkan beramal dengan yang masyhur (hadits pengharaman binatang buas bertaring) lebih diutamakan.
b. Mendahulukan dalil pelarangan daripada dalil pembolehan jika ada pertentangan (ta’aarudl) sebagai langkah hati-hati – sebagaimana telah dikenal dalam ilmu ushul.
c. Membawa dalil yang menunjukkan pembolehan datang sebelum adanya dalil pengharaman. Atau secara ringkas, dalil pembolehan tersebut adalah mansukh dengan dalil pengharaman.
d. Hadits Jaabir tidak secara sharih menunjukkan kehalalan memakan daging hyena. Ada kemungkinan bahwa penyandaran Jaabir kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam hanya dalam kaitan hyena termasuk hewan buruan. Kemudian ia berijtihad bahwa semua hewan buruan halal dagingnya untuk dimakan. Atas dasar kemungkinan ini, hadits Jaabir ini tidak sah digunakan sebagai dalil.
Sanggahan di atas dijawab oleh pendapat kedua yang membolehkan sebagai berikut :
a. Bagaimana bisa dikatakan bahwa hadits Jaabir bukan hadits yang masyhur, sementara itu ia dishahihkan oleh banyak ahli hadits dulu dan sekarang seperti : Al-Bukhari, At-Tirmidzi, Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, Al-Baihaqiy, Ibnu Hajar, dan yang lainnya ? Apalagi hal itu diamalkan oleh beberapa ulama salaf sebagaimana telah disebutkan. Telah menjadi satu hal yang maklum bahwa yang dijadikan pendalilan bagi satu hukum itu terletak pada keshahihan dan dilalah (penunjukkan)-nya, bukan pada masyhur dan tidaknya.
b. Jalan tarjih ataupun klaim adanya naasikh hanya dilakukan jika metode penjamakan tidak dapat ditempuh. Di sini, penjamakan dalil-dalil yang (kelihatan) bertentangan adalah memungkinkan/mudah. Menggunakan dua dalil secara bersamaan lebih diutamakan daripada menggunakan hanya satu dalil dan meninggalkan yang lainnya (padahal dua-duanya adalah shahih).
Dalil yang menyatakan kehalalan daging hyena lebih khusus daripada dalil pengharamannya. Hyena adalah jenis yang dikecualikan dari hewan-hewan buas yang bertaring [lihat Ma’aalimus-Sunan 4/103, As-Sailul-Jaraar hal. 724, dan I’laamul-Muwaqqi’iin 2/135]. Oleh karena itu, tidak ada pertentangan di antara kedua dalil itu.
c. Alasan bahwa hadits Jaabir tidak sah digunakan sebagai dalil karena tidak sharih penunjukan penghalalan daging hyena terhapus dengan riwayat lain dari hadits Jaabir bahwa Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam sendiri yang secara tegas menghalalkan daging hyena:
الضبع صيد فكلها وفيها كبش سمين إذا أصابها المحرم
“Hyena itu termasuk hewan buruan. Maka makanlah ia ! Dan denda seekor kambing gemuk (untuk disembelih) apabila seorang yang ihram membunuhnya” [Diriwayatkan oleh Al-Baihaqiy 5/183; shahih – lihat Shahiihul-Jaami’ no. 3899-3900].
Hadits di atas sekaligus menjelaskan kepada kita bahwa ditetapkan hewan buruan oleh syari’at sebagai penunjukkan kehalalan untuk memakan dagingnya. ‘Illat dengan adanya huruf fa’ tasbib menunjukkan daging hyena itu halal dengan sebab termasuk hewan buruan.
Sebagaimana yang kita lihat, pendapat kedua yang menghalalkan daging hyena lebih kuat. Berikut akan kami tuliskan fatwa singkat dari Al-Lajnah Ad-Daaimah :
س : نرجو إفادتنا عن أكل الضبع والثعلب والضب ، حلال ، أو حرام ، أو مشتبه فيه ؟ جزاكم الله خير الجزاء .ج : الضبع والضب حلال ، وأما الثعلب فحرام .وبالله التوفيق ، وصلى الله على نبينا محمد وآله وصحبه وسلم .اللجنة الدائمة للبحوث العلمية والإفتاءعضو ... عضو ... نائب الرئيس ... الرئيسعبد الله بن قعود ... عبد الله بن غديان ... عبد الرزاق عفيفي ... عبد العزيز بن عبد الله بن باز
Pertanyaan : Kami mengharapkan satu faedah dari penjelasan Anda tentang hukum memakan hyena (adl-dlabu’), musang (ats-tsa’lab), dan kadal padang pasir (dlabb). Apakah ia halal, haram, atau termasuk perkara syubhat ? Jazaakumullahu khairal-jazaa’.
Jawab : Hyena dan kadal padang pasir adalah halal. Adapun musang adalah haram. Wabillaahi-taufiiq. Wa shallallaahu ‘alaa nabiyyinaa Muhammadin wa aalihi wa shahbihi wa sallam.
Al-Lajnah Ad-Daaimah li-Buhuuts Al-‘Ilmiyyah wal-Iftaa’.
‘Abdurrahman bin Qu’uud (anggota), ‘Abdulah bin Ghudayyan (anggota), ‘Abdurrazzaq ‘Afiifiy (wakil ketua), dan ‘Abdul-‘Aziiz bin ‘Abdillah bin Baaz (ketua).
[Fataawaa no. 5976].
Selain itu, di kalangan ulama kontemporer yang menghalalkannya antara lain Asy-Syaikh Muhammad bin Ibraahiim (Fataawaa wa Rasaail 1/3394 tanggal 29/10/1388), Asy-Syaikh Ibnu Baaz (mis. Majmu’ Fataawaa 23/34-35 no.18), Asy-Syaikh Al-Albaniy (mis. Silsilatul-Hudaa wan-Nuur no. 325 menit 30:58), dan Asy-Syaikh Al-Fauzaan (mis. Al-Mulakhash Al-Fiqhiy 2/581).
Wallaahu ta’ala a’lam.
Semoga artikel ringkas ini ada manfaatnya.
[Abul-Jauzaa’ – menjelang akhir Sya’ban 1430 di Wonogiri tercinta].
Bagi ikhwan yang belum pernah mengetahui hewan adl-dlabu’ (hyena), maka dapat dilihat beberapa jenisnya sebagaimana foto di bawah :






Bahan bacaan :
1. Ahkaamul-Qur’an oleh Abu Bakr bin Al-‘Arabiy, takhrij & ta’liq : Muhammad bin ‘Abdil-Qaadir ‘Athaa’; Daarul-Kutub Al-‘Ilmiyyah, Cet. 3/1424, Beirut.
2. Al-Hayawaanaat Maa Yajuuz Akalahu wa Maa Laa Yajuuz oleh Sulaiman bin Shaalih Al-Khurasyiy; Daarul-Qaasim, Cet. 1/1420, Riyaadl.
3. Al-Mulakhash Al-Fiqhiy oleh Shaalih Al-Fauzaan; Daarul-‘Aashimah, Cet. 1/1423, Riyadl.
4. As-Sailul-Jaraar oleh Asy-Syaukaniy; Daar Ibni Hazm, Cet. 1, Beirut.
5. I’laamul-Muwaqqi’iin oleh Ibnul-Qayyim, tahqiq : Thaha ‘Abdur-Rauf Sa’d; Maktabah Al-Kulliyyaatil-Azhariyyah, Cet. Thn. 1388, Kairo.
6. Sunan Abi Dawud ma’a Ma’aalimus-Sunan oleh Al-Khaththaabiy; Daar Ibni Hazm, Cet. 1/1418, Beirut.
7. Tuhfatul-Ahwadziy bi-Syarh Jaami’ At-Tirmidziy oleh Al-Mubaarakfuriy, tahshhih : ‘Abdul-Wahhaab bin ‘Abdil-Lathiif; Daarul-Fikr, Beirut.
8. Dll.
[1] Mengenai definisi hewan buas (as-sibaa’), Al-Imam Ahmad berkata : “Setiap hewan yang menggigit dengan taringnya, maka ia termasuk binatang buas” [Syarh Az-Zarkasyiy ‘alaa Mukhtashar Al-Khiraqiy, 6/675 – melalui perantaraan Al-Hayawaanaat oleh Sulaiman Al-Khurasyiy, hal. 21]. Adapun Ibnul-Atsiir berkata : “Hewan apa saja yang menerkam hewan lainnya dan memakannya secara paksa seperti singa, macan, serigala, dan sebangsanya” [An-Nihaayah – materi kata سبع].
di 08:24











jazakumullah

KAPANKAH IMSAK?

AHLAN WA SAHLAN


Penulis: Ustadz Abu Al-Jauzaa’ -semoga Allah membalas kebaikannya-


Begitulah yang sering kita dengar 10-15 menit sebelum adzan Shubuh berkumandang….. Tidak lupa diiringi kentongan, sirine, atau peringatan-peringatan semisal yang disuarakan lewat speaker masjid. Katanya, jika waktu imsak telah datang kita sudah tidak diperbolehkan lagi makan dan minum karena termasuk waktu makruh – dan bahkan sebagian lain mengatakan waktu yang haram (untuk makan dan minum).

Di bawah ini akan disajikan tulisan ringan yang berisi beberapa hadits/atsar serta penjelasan ulama yang berkaitan dengan imsak puasa untuk mendudukkan perbuatan tersebut dalam syari’at Islam.

عَنْ انس بْنِ مَالِكٍ عَنْ زيْد بْن ثَابِتٍ رَضَي الله عَنْهُمَا قال: تَسَحَّرْنَا مَع رَسُولِ الله صلى الله عليه وسلم ثُمَّ قَامَ إلى الصَّلاةِ.
قال أنس: قُلْتُ لِزيْدٍ : كَمْ كَانَ بَيْنَ الأذَانِ وَالسُّحُورِ؟ قال: قَدْرُ خَمْسِينَ آيةٍ
.

Dari Anas bin Malik dari Zaid bin Tsabit radliyallaahu ‘anhuma ia berkata : ”Kami pernah makan sahur bersama Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam, kemudian kami berdiri untuk shalat. Maka saya (Anas) berkata : “Berapa lama jarak antara adzan dan makan sahur?”. Ia (Zaid) menjawab : خمسين آية(kira-kira bacaan lima puluh ayat dari Al-Qur’an)” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhari no. 1921 dan Muslim no. 1097].
Yang dimaksud adzan di sini adalah iqamat.

Asy-Syaikh Abdullah bin Abdirrahman Aali Bassam dalam Taisirul-‘Allam Syarh ‘Umdatil-Ahkaam (1/569-570 no. 177) mengatakan bahwa adzan yang dimaksud dalam hadits tersebut adalah iqamat. Iqamat disebut juga dengan adzan sebagaimana hadits :

عن عبد الله بن مغفل المزني أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال : بين كل أذانين صلاة – ثلاثا – لمن شاء.

Dari ‘Abdullah bin Mughaffal Al-Muzanniy : Bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda : “Diantara dua adzan ada shalat – beliau mengatakannya tiga kali – bagi siapa saja yang ingin melakukannya” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhari no. 624, Muslim no. 838, Ad-Daarimiy no. 1480, dan Ibnu Hibbaan no. 1559-1561].
Juga, sahur yang dilakukan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam dan para shahabat adalah mendekati adzan shubuh atau bahkan mendekati iqamat. Hal itu ditunjukkan oleh beberapa qarinah (keterangan) riwayat sebagai berikut :

1. Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu meriwayatkan bahwa Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda :
إذا سمع أحدكم النداء والإناء على يده فلا يضعه حتى يقضي حاجته منه
“Jika salah seorang kalian mendengar panggilan (adzan) sedangkan bejana (minumnya) ada di tangannya, maka janganlah ia meletakkannya hingga menunaikan keinginannya dari bejana (tersebut)” [Diriwayatkan oleh Ahmad no. 10637 dan Abu Dawud no. 2350 dengan sanad hasan; lihat Al-Jaami’ush-Shahiih 2/418-419 oleh Asy-Syaikh Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i].

2. Hadits maushul yang diriwayatkan dari Al-Husain bin Waqid dari Abu Umamah, ia berkata :
أقيمت الصلاة والإناء في يد عمر قال أشربها يا رسول الله قال نعم فشربها
“Pernah iqamah dikumandangkan sedangkan bejana masih di tangan Umar (bin Khaththab) radliyallaahu ‘anhu. Dia bertanya kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam : Apakah aku boleh meminumnya?”. Beliau menjawab : “Boleh”. Maka Umar pun meminumnya” [Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir 3/527/3017 dengan dua sanad darinya; shahih].

3. Hadits yang diriwayatkan dari Ibnu Lahi’ah dari Abu Zubair, ia berkata : Aku pernah bertanya kepada Jabir tentang seseorang yang bermaksud puasa sedangkan ia masih memegang gelas untuk minum, kemudian ia mendengar adzan. Jabir menjawab :
كنا نتحدث أن النبي صلى الله عليه وسلم قال : ليشرب

“Kami pernah mengatakan hal seperti itu kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam dan beliau bersabda : ‘Hendaklah ia minum’” [Diriwayatkan oleh Ahmad 3/348 no. 14797 dan ia berkata : Telah meriwayatkan pada kami Musa, ia berkata : Telah meriwayatkan kepada kami Ibnu Lahi’ah].

Asy-Syaikh Al-Albani berkata : “Isnad ini tidak mengapa (dapat dipakai), jika untuk penguat. Al-Walid bin Muslim juga meriwayatkannya dari Ibnu Lahi’ah [Diriwayatkan oleh Abul-Husain Al-Kilabi dalam Nuskhah Abul-‘Abbas Thahir bin Muhammad]”.
Perawi-perawinya tsiqaat, para perawi Muslim, kecuali Ibnu Lahi’ah, karena jelek hafalannya. Al-Haitsami berkata dalam Al-Majma’ (3/153) : “Diriwayatkan oleh Ahmad dan isnadnya hasan”. Berkata Syu’aib Al-Arna’uth : “Hasan lighairihi, dan sanad hadits ini adalah dla’if karena jeleknya hapalan Ibnu Lahi’ah”.

4. Hadits yang dikeluarkan oleh Ishaq dari Abdullah bin Mu’aqal dari Bilal, ia berkata :
أتيت النبي صلى الله عليه وسلم أوذنه لصلاة الفجر , و هو يريد الصيام , فدعا بإناء فشرب , ثم ناولني فشربت , ثم خرجنا إلى الصلاة
“Aku pernah mendatangi Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam untuk adzan shalat shubuh, padahal beliau akan berpuasa. Kemudian beliau meminta segelas air untuk minum. Setelah itu beliau mengajakku untuk minum dan kami keluar untuk shalat” [Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir no. 3018 dan 3019, Ahmad 6/12 no. 23935, dan perawi-perawinya tsiqaat, para perawi Al-Bukhari dan Muslim. Namun sanad hadits ini adalah dla’if, karena tidak diketahui penyimakan ‘Abdullah bin Ma’qil Al-Muzanniy dari Bilaal. Ada riwayat lain yang semakna dari Ja’far bin Barqan dari Syaddaad maula ‘Iyadl bin ‘Amir dari Bilal, namun ia juga lemah karena jahalah Syaddaad - sebagaimana diriwayatkan oleh Ahmad 6/13 no. 23947].

5. Muthi’ bin Rasyid meriwayatkan : Telah menceritakan kepada kami Taubah Al-Anbariy bahwa ia mendengar Anas bin Malik berkata :
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : ” أنظر من في المسجد فادعه , فدخلت – يعني – المسجد , فإذا أبو بكر و عمر فدعوتهما , فأتيته بشيء , فوضعته بين يديه , فأكل و أكلوا , ثم خرجوا , فصلى بهم رسول الله صلى الله عليه وسلم صلاة الغداة “
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda : “Lihatlah, siapa yang berada di masjid. Panggillah ia !”. Kemudian aku (Anas) masuk masjid dan aku dapati Abu Bakr dan ‘Umar. Kemudian aku memanggil mereka, lalu aku bawakan suatu makanan dan aku letakkan di depan beliau shallallaahu ‘alaihi wasallam. Kemudian beliau makan bersama mereka, setelah itu mereka keluar. Kemudian Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam shalat bersama mereka, yaitu shalat shubuh” [Diriwayatkan oleh Al-Bazzar no. 993 dalam Kasyful-Astar dan ia berkata : “Kami tidak mengetahui Taubah menyandarkan kepada Anas kecuali hadits ini dan satu hadits lain dan tidak meriwayatkan dua hadits itu darinya – yaitu Anas - , kecuali Muthi’].
Al-Hafidh Ibnu Hajar dalam Az-Zawaid hal. 106 : “Isnad hadits ini hasan”. Asy-Syaikh Al-Albani berkata : “Al-Imam Al-Haitsami berkata seperti itu juga (seperti perkataan Al-Hafidh Ibnu Hajar) dalam Al-Majma’ (3/152)”.

6. Qais bin Rabi’ meriwayatkan dari Zuhair bin Abi Tsabit Al-A’maa dari Tamim bin ‘Iyaadl dari Ibnu ‘Umar ia berkata :
كان علقمة بن علاثة عند رسول الله صلى الله عليه وسلم , فجاء بلال يؤذنه بالصلاة , فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم : رويدا يا بلال !
يتسحر علقمة, وهو يتسحر برأس
Alqamah bin Alatsah pernah bersama Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam kemudian datanglah Bilal untuk mengumandangkan adzan. Kemudian Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda : “Tunggu sebentar wahai Bilal ! Alqamah sedang makan sahur. – Dan ia (‘Alqamah) baru mulai makan sahur ” [Diriwayatkan oleh Ath-Thayalisi no. 2010 dan Ath-Thabarani dalam Al-Kabir sebagaimana dalam Al-Majma’ 3/153 dan ia berkata : “Qais bin Ar-Rabi’ dianggap tsiqah oleh Syu’bah dan Sufyan Ats-Tsauri padahal padanya – yaitu Qais – ada pembicaraan].
Asy-Syaikh Al-Albani berkata : “Haditsnya (Qais) hasan jika ada syawahidnya, karena ia (Qais) sendiri shaduq (jujur). Hanya yang dikhawatirkan adalah jeleknya hafalannya. Maka apabila ia meriwayatkan hadits yang sesuai dengan perawi-perawi tsiqat lainnya, haditsnya dapat dipakai”.
Dr. Muhammad bin ‘Abdil-Muhsin At-Turkiy (pen-tahqiq Musnad Abi Dawud Ath-Thayalisiy) berkata : “Sanadnya dla’if, karena ke-dla’if-an Qais bin Ar-Rabii’”.

7. Diriwayatkan dari Syuhaib bin Gharqadah Al-Bariqi dari Hiban bin Harits ia berkata :
تسحرنا مع علي بن أبي طالب رضي الله عنه , فلما فرغنا من السحور أمر المؤذن فأقام الصلاة
“Kami pernah makan sahur bersama ‘Ali bin Abi Thalib radliyallaahu ‘anhu. Maka ketika kami telah selesai makan sahur, ia (‘Ali) menyuruh muadzin untuk iqamat” [Diriwayatkan oleh Ath-Thahawiy dalam Syarh Ma’anil-Atsar 1/106 dan Al-Muhlis dalam Al-Fawaid Al-Munthaqah 8/11/1].
Perawi-perawinya tsiqat kecuali Hibban. Ibnu Abi Hatim 1/2/269 membawakan riwayat ini dan ia tidak menyebutkan jarh ataupun ta’dil-nya. Sedangkan Ibnu Hibban menulisnya dalam Ats-Tsiqaat.
[Lihat keseluruhan riwayat ini dalam Silsilah Ash-Shahiihah no. 1394]
Dengan melihat beberapa riwayat di atas jelaslah bagi kita bahwa Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam dan para shahabat makan sahur sampai hampir mendekati adzan atau bahkan iqamat. Hampir dikatakan tidak ada jeda antara keduanya. Maka, makna kadar waktu 50 ayat itu merupakan kadar waktu untuk makan sahur sampai menjelang shalat shubuh. Bukan waktu berhentinya sahur sampai adzan.


Itulah sunnah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam. Oleh karena itu, tidaklah berlebihan jika sebagian ulama menganggap perbuatan mengumandangkan waktu imsak sebelum waktu shubuh sebagai perbuatan bid’ah. Telah berkata Al-Hafidh Ibnu Hajar rahimahullah tentang keadaan imsak sahur di jamannya yang mirip-mirip dengan yang ada sekarang :
من البدع المنكرة ما أحدث في هذا الزمان من إيقاع الأذان الثاني قبل الفجر بنحو ثلث ساعة في رمضان واطفاء المصابيح التي جعلت علامة لتحريم الأكل والشرب على من يريد الصيام زعما ممن أحدثه أنه للاحتياط في العبادة ولا يعلم بذلك الا آحاد الناس وقد جرهم ذلك إلى أن صاروا لا يؤذنون الا بعد الغروب بدرجة لتمكين الوقت زعموا فاخروا الفطر وعجلوا السحور وخالفوا السنة فلذلك قل عنهم الخير وكثير فيهم الشر والله المستعان
“Termasuk bid’ah yang munkar adalah apa yang terjadi di jaman ini (jamannya Ibnu Hajar) yaitu adanya pengumandangan adzan kedua tiga perempat jam sebelum waktu fajar bulan Ramadlan. Serta memadam lampu-lampu sebagai pertanda telah datangnya waktu haram untuk makan dan minum bagi yang berpuasa keesokan harinya. Orang yang berbuat seperti ini beranggapan bahwa hal itu dimaksudkan untuk berhati-hati dalam beribadah, sebab yang mengetahui persis batas akhir sahur hanya segelintir manusia. Sikap hati-hati yang demikian, juga menyebabkan mereka tidak diijinkan untuk berbuka puasa kecuali setelah matahari terbenam beberapa saat agar lebih mantap lagi (menurut anggapan mereka). Akibatnya mereka suka mengakhirkan waktu berbuka puasa, suka mempercepa waktu sahur, dan suka menyalahi Sunnah. Oleh sebab itulah mereka sedikit mendapatkan kebaikan, tetapi banyak mendapatkan keburukan” [Fathul-Baariy, 4/199].

Hal di atas merupakan imsak versi jaman Ibnu Hajar dengan pengumandangan adzan tiga perempat jam sebelum fajar plus memadamkan lampu sebagai tanda berhentinya makan dan minum. Sungguh, Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam telah bersabda :
هلك المتنطعون قالها ثلاثا
“Telah binasa orang-orang terdahulu yang berlebih-lebihan” – beliau mengatakannya tiga kali [Diriwayatkan oleh Muslim no. 2670].
Semoga kita bukan termasuk golongan yang binasa karena menyelisihi sunnah dan membuat bid’ah dalam agama.
Wallaahu a’lam.
NB : Apa yang ditulis di sini bukan berarti menyuruh untuk berlambat-lambat makan sahur mepet waktu Shubuh hingga kita tertinggal shalat Shubuh. Semua bisa diperkirakan. Barangsiapa yang rumahnya jauh dengan masjid, maka ia dapat menyelesaikan makan sahur dengan segera tanpa harus tertinggal shalat berjama’ah. Insya Allah ia mendapatkan keutamaan mengakhirkan makan sahur sebagaimana dalam sunnah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam.
[Dihimpun oleh Abu Al-Jauzaa’ dari beberapa sumber, after midnight in Ramadlan Mubarak 1430 H].












jazakumullah

maandag, augustus 24, 2009

Seorang Mukmin Bagaikan Pohon Kurma

AHLAN WA SAHLAN


Seorang Mukmin Bagaikan Pohon Kurma



قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ مِنْ الشَّجَرِ شَجَرَةً لَا يَسْقُطُ وَرَقُهَا وَإِنَّهَا مَثَلُ الْمُسْلِمِ فَحَدِّثُونِي مَا هِيَ فَوَقَعَ النَّاسُ فِي شَجَرِ الْبَوَادِي قَالَ عَبْدُ اللَّهِ وَوَقَعَ فِي نَفْسِي أَنَّهَا النَّخْلَةُ فَاسْتَحْيَيْتُ ثُمَّ قَالُوا حَدِّثْنَا مَا هِيَ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ هِيَ النَّخْلَةُ
“Rasulullah bersabda: “Sesungguhnya ada diantara pepohonan, satu pohon yang tidak gugur daunnya. Pohon ini seperti seorang muslim, maka sebutkanlah kepadaku apa pohon tersebut?” Lalu orang menerka-nerka pepohonan wadhi. Berkata Abdullah: “Lalu terbesit dalam diriku, pohon itu adalah pohon kurma, namun aku malu mengungkapkannya”. Kemudian mereka berkata: “Wahai Rasululloh beritahulah kami pohon apa itu?” Lalu beliau menjawab: “Ia adalah pohon kurma”.”
Takhrij
Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Bukhori dalam shohihnya kitab Al Ilmu, bab Qaulul Muhadits Hadatsanaa no. 61 (1/145-Fathul Bariy) dan Muslim dalam shohihnya kitab Sifatul Munafiqin bab Mitslul mukmin matsalun Nakhlah no. 7029 (17/151- Syarah Nawawi)
Syarah Mufradat Hadits
1. إِنَّ مِنْ الشَّجَرِ شَجَرَةً لَا يَسْقُطُ وَرَقُهَا وَإِنَّهَا مَثَلُ الْمُسْلِمِ : terdapat persamaan dan penyerupaan seorang muslim dengan pohon yang tidak gugur daunnya, yaitu pohon kurma
2. فَوَقَعَ النَّاسُ فِي شَجَرِ الْبَوَادِي : akal pikiran mereka menerawang kepada pepohonan di wadhi. Setiap orang menafsirkannya dengan salah satu jenis pepohonan tersebut, namun lupa dengan pohon kurma.[1]
3. الْبَوَادِي : bentuk jamak dari Badiyah yang bermakna dataran luas yang ada padanya tumbuhan dan air[2]
4. قَالَ عَبْدُ اللَّهِ : Abdullah ini adalah Abdullah bin Umar, sahabat yang meriwayatkan hadits ini dari Rasulullah Shallallahu’alaihi Wassalam.
5. فَاسْتَحْيَيْتُ : sebab malu beliau, karena paling kecil dari para sahabat yang hadir waktu itu, sebagaimana dijelaskan dalam riwayat Bukhori di kitab Al Ath’imah: “Aku adalah orang kesepuluh dan aku yang paling kecil”.
6. هِيَ النَّخْلَةُ : pohon kurma. Tentulah pohon ini memiliki keistimewaan sehingga dijadikan sebagai permisalan bagi seorang muslim. Tidak hanya ini saja bahkan Allah memberikan permisalan kalimat thoyibah dengan pohon ini dalam firmannya:
أَلَمْ تَرَ كَيْفَ ضَرَبَ اللهُ مَثَلاً كَلِمَةً طَيِّبَةً كَشَجَرَةٍ طَيِّبَةٍ أَصْلُهَا ثَابِتٌ وَفَرْعُهَا فِي السَّمَآءِ تُؤْتِي أُكُلَهَا كُلَّ حِينٍ بِإِذْنِ رَبِّهَا وَيَضْرِبُ اللهُ اْلأَمْثَالَ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَذَكَّرُونَ
Artinya: “Tidakkah kamu perhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaan kalimat yang baik seperti pohon yang baik, akarnya teguh dan cabangnya (menjulang) ke langit, pohon itu memberikan buahnya pada setiap musim dengan seizin Rabbnya.Allah membuat perumpamaan-perumpamaan itu untuk manusia supaya mereka selalu ingat. (QS. Ibrahim: 24-25)
Ibnu Hajar berkata: “Imam Bukhori telah membawakan hadits ini juga dalam tafsir firman Allah:
أَلَمْ تَرَ كَيْفَ ضَرَبَ اللهُ مَثَلاً كَلِمَةً طَيِّبَةً
Sebagai isyarat dari beliau bahwa yang dimaksud dengan pohon yang baik itu adalah pohon kurma. Memang telah ada riwayat yang tegas dari hadits yang dikeluarkan oleh Al Bazaar dari jalan periwayatan Musa bin ‘Uqbah dari Naafi’ dari Ibnu Umar, beliau menyatakan bahwa Rasulullah Shallallahu’alaihi Wassalam membaca ayat ini dan bersabda: “Apakah kalian tahu pohon apakah itu?” Ibnu Umar menyatakan: “Jelas itu adalah pohon kurma, namun usiaku yang kecil menahanku untuk berbicara”. Lalu Rasululloh berkata: “ia adalah pohon Kurma”.[3]
Dengan demikian, pohon yang baik disini ditafsirkan dengan pohon kurma dan ini adalah pendapat banyak Ulama Salaf, diantaranya: Ibnu Abbas, Mujahid, Masruq, Ikrimah, Ad Dhohaak, Qatadah dan Ibnu Zaid.[4] Pendapat ini dikuatkan oleh hadits yang diriwayatkan Ibnu Hibbaan dari jalan periwayatan Abdulaziz bin Muslim dari Abdullah bin Dinaar dari ibnu Umar bahwa Rasulullah bersabda:
مَنْ يُخْبِرُنِيْ عَنْ شَجَرَةٍ مِثْلُهَا مِثْلُ الْمُؤْمِنِ أَصْلُهَا ثَابِتٌ وَفَرْعُهَا فِيْ السَّمَاءِ
Artinya: “Siapakah yang dapat menyebuntukan kepadaku satu pohon yang menyerupai seorang mukmin, pokok batangnya kokoh dan cabangnya menjulang kelangit?”.[5]
Semua ini menunjukkan pohon kurma memiliki keutamaan, ketinggian dan keistimewaan. Semua ini telah ditunjukkan dalam ayat diatas. Namun cukuplah dengan dijadikan sebagai permisalahan seorang muslim menunjukkan ketinggian dan keistimewaannya.
Syarah Hadits
Nabi Shalallahu ‘alaihi Wassalam dalam hadits ini memberikan permisalan dan menyerupakan seorang muslim dengan pohon kurma. Tentunya hal ini menunjukkan adanya sisi kesamaan antara keduanya. memang mengenal dan mengetahui sisi kesamaan ini perlu mendapat perhatian yang cukup, apalagi Allah telah menjelaskan hal ini agar manusia selalu ingat kepadaNya, sebagaimana firmanNya:
أَلَمْ تَرَ كَيْفَ ضَرَبَ اللهُ مَثَلاً كَلِمَةً طَيِّبَةً كَشَجَرَةٍ طَيِّبَةٍ أَصْلُهَا ثَابِتٌ وَفَرْعُهَا فِي السَّمَآءِ تُؤْتِي أُكُلَهَا كُلَّ حِينٍ بِإِذْنِ رَبِّهَا وَيَضْرِبُ اللهُ اْلأَمْثَالَ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَذَكَّرُونَ
Artinya: “Tidakkah kamu kamu perhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaan kalimat yang baik seperti pohon yang baik, akarnya teguh dan cabangnya (menjulang) ke langit, pohon itu memberikan buahnya pada setiap musim dengan seizin Rabbnya.Allah membuat perumpamaan-perumpamaan itu untuk manusia supaya mereka selalu ingat”. (QS. Ibrahim: 24-25)
Diantara sisi kesamaan muslim dengan pohon kurma adalah:[6]
1. Pohon kurma mesti memiliki akar, pangkal batang, cabang, daun dan buah, demikian juga pohon keimanan, memiliki pokok, cabang dan buah. Pokok imam adalah rukun iman yang enam dan cabangnya adalah amalan sholeh dan aneka ragam ketaatan dan ibadah. Sedangkan buahnya adalah semua kebaikan dan kebahagiaan yang didapatkan seorang mukmin didunia dan akherat.
Imam Ahmad berkata: “perumpamaan iman seperti pohon, karena pokoknya adalah syahadatain, batang dan daunnya demikian juga. Sedangkan buahnya adalah sikap wara’ (hati-hati). Tidak ada kebaikan pada pohon yang tidak berbuah dan tidak ada kebaikan pada orang yang tidak punya sifat wara’“.[7]
Imam Al Baghaqwiy menyatakan: “Hikmah dari penyerupaan iman dengan pohon adalah pepohonan tidak dikatakan sebagai pohon (yang baik) kecuali memiliki tiga hal. Memiliki akar yang kuat, batang yang kokoh dan cabang yang tinggi. Demikian juga iman, tidak sempurna iman kecuali dengan tiga hal, yaitu pembenaran hati, ucapan lisan dan amalan anggota tubuh”.[8] Demikian juga Ibnul Qayyim mengomentari hal ini dalam pernyataan beliau: “Ikhlas dan Tauhid adalah satu pohon dihati, cabangnya adalah amalan dan buahnya adalah kehidupan yang baik didunia dan nikmat yang abadi di akherat. Sebagaimana buah-buahan syurga tidak terputus dan tidak tercegah mengambilnya, maka buah tauhid dan ikhlas diduniapun demikian. Adapun kesyirikan, dusta dan riya’ adalah satu pohon dihati, buahnya didunia perasaan takut, sedih, duka, kesempitan dan kegelapan hati dan buahnya diakherat buah zaqqum dan adzab yang abadi. Kedua pohon ini telah dijelaskan Allah dalam surat Ibrohim”.[9]
2. Pohon kurma tidak akan bertahan hidup kecuali dengan disiram dan dipelihara. Disiram dengan air, jika tidak maka akan kering dan jika ditebang maka mati. Demikian juga seorang mukmin tidak dapat hidup yang hakiki dan istiqomah kecuali dengan siraman wahyu. Oleh karena itulah Allah menamakan wahyu dengan ruh dalam firmanNya:
وَكَذَلِكَ أَوْحَيْنَآ إِلَيْكَ رُوحًا مِّنْ أَمْرِنَا مَاكُنتَ تَدْرِي مَا الْكِتَابُ وَلاَ اْلإِيمَانُ وَلَكِن جَعَلْنَاهُ نُورًا نَّهْدِي بِهِ مَن نَّشَآءُ مِنْ عِبَادِنَا وَإِنَّكَ لَتَهْدِي إِلَى صِرَاطٍ مُّسْتَقِيمٍ
Artinya: “Dan demikianlah Kami wahyukan kepadamu ruh/ wahyu (al-Qur’an) dengan perintah Kami.Sebelumnya kamu tidaklah mengetahui apakah Al-Kitab (al-Qur’an) dan tidak pula mengetahui apakah iman itu, tetapi Kami menjadikan al-Qur’an itu cahaya, yang Kami tunjuki dengan dia siapa yang Kami kehendaki di antara hamba-hamba Kami.Dan sesungguhnya kamu benar-benar memberi petunjuk kepada jalan yang lurus“. (QS. Asy-Syura:52) dan firmanNya:
يُنَزِّلُ الْمَلاَئِكَةَ بِالرُّوحِ مِنْ أَمْرِهِ عَلَى مَن يَشَآءُ مِنْ عِبَادِهِ أَنْ أَنذِرُوا أَنَّهُ لآإِلَهَ إِلآأَنَا فَاتَّقُونِ
Artinya: “Dia menurunkan para malaikat dengan (membawa) wahyu dengan perintah-Nya kepada siapa yang Dia kehendaki di antara hamba-hamba-Nya, yaitu: “Peringatkanlah olehmu sekalian,bahwasanya tidak ada Ilah (yang hak) melainkan Aku, maka hendaklah kamu bertaqwa kepada-Ku”. (QS. 16:2), karena kehidupan hakiki bagi hati tidak ada tanpa wahyu. Sehingga tanpa wahyu manusia dikatakan mayit walaupun bergerak diantara manusia. Allah berfirman:
أَوَمَنْ كَانَ مَيْتًا فَأَحْيَيْنَاهُ وَجَعَلْنَالَهُ نُورًا يَمْشِي بِهِ فِي النَّاسِ كَمَنْ مَثَلُهُ فِي الظُّلُمَاتِ لَيْسَ بِخَارِجٍ مِّنْهَا كَذَلِكَ زُيِّنَ لِلْكَافِرِينَ مَاكاَنُوا ْمَلُونَ
Artinya: “Dan apakah orang yang sudah mati kemudian dia Kami hidupkan dan Kami berikan kepadanya cahaya yang terang, yang dengan cahaya itu dia dapat berjalan ditengah-tengah masyarakat manusia, serupa dengan orang yang keadaannya berada dalam gelap gulita yang sekali-kali tidak dapat keluar dari padanya. (QS. Al An’am:122).
Disini jelas sekali sisi persamaannya. Pohon kurma hanya hidup dengan disiram air dan hati seorang mukmin hanya hidup dengan siraman wahyu.
3. Pohon kurma sangat kokoh, sebagaimana firmanNya:
أَلَمْ تَرَ كَيْفَ ضَرَبَ اللهُ مَثَلاً كَلِمَةً طَيِّبَةً كَشَجَرَةٍ طَيِّبَةٍ أَصْلُهَا ثَابِتٌ وَفَرْعُهَا فِي السَّمَآءِ تُؤْتِي أُكُلَهَا كُلَّ حِينٍ بِإِذْنِ رَبِّهَا وَيَضْرِبُ اللهُ اْلأَمْثَالَ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَذَكَّرُونَ
Artinya: “Tidakkah kamu perhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaan kalimat yang baik seperti pohon yang baik, akarnya teguh dan cabangnya (menjulang) ke langit, pohon itu memberikan buahnya pada setiap musim dengan seizin Rabbnya.Allah membuat perumpamaan-perumpamaan itu untuk manusia supaya mereka selalu ingat”. (QS. Ibrahim: 24-25).
Demikian juga iman jika telah mengakar didalam hati, maka menjadi sangat kokoh dan tidak goyah sedikitpun, seperti kokohnya gunung yang besar menjulang.
Imam Al ‘Auzaa’iy ditanya tentang iman, apakah bertambah? Beliau menjawab: “Ya, sampai membesar seperti gunung”. Ditanya lagi, apakah berkurang? Beliau menjawab: “Ya, sampai tidak sisa sedikitpun”.[10] Demikian juga imam Ahmad bin Hambal ditanya tentang hal yang serupa dan menjawab: “Bertambah sampai mencapai lebih tinggi dari langit yang tujuh dan berkurang sampai menjadi paling rendah dari bumi yang ketujuh”.[11]
4. Pohon kurma tidak dapat tumbuh disembarang tanah, bahkan hanya tumbuh ditanah tertentu yang subur saja. Pohon kurma disebagian tempat tidak tumbuh sama sekali, disebagian lainnya tumbuh namun tak berbuah dan disebagian lain tumbuh berbuah tapi sedikit buahnya. Sehingga tidak semua tanah cocok untuk pohon kurma. Demikian juga iman, ia tidak kokoh pada semua hati. Dia hanya akan kokoh pada hati orang yang Allah berikan hidayah dan lapang dada menerimanya. Sehingga pantaslah bila Rasulullah Shallallahu’alaihi Wassalam bersabda:
مَثَلُ مَا بَعَثَنِي اللَّهُ بِهِ مِنْ الْهُدَى وَالْعِلْمِ كَمَثَلِ الْغَيْثِ الْكَثِيرِ أَصَابَ أَرْضًا فَكَانَ مِنْهَا نَقِيَّةٌ قَبِلَتْ الْمَاءَ فَأَنْبَتَتْ الْكَلَأَ وَالْعُشْبَ الْكَثِيرَ وَكَانَتْ مِنْهَا أَجَادِبُ أَمْسَكَتْ الْمَاءَ فَنَفَعَ اللَّهُ بِهَا النَّاسَ فَشَرِبُوا وَسَقَوْا وَزَرَعُوا وَأَصَابَتْ مِنْهَا طَائِفَةً أُخْرَى إِنَّمَا هِيَ قِيعَانٌ لَا تُمْسِكُ مَاءً وَلَا تُنْبِتُ كَلَأً فَذَلِكَ مَثَلُ مَنْ فَقُهَ فِي دِينِ اللَّهِ وَنَفَعَهُ فَعَلِمَ وَعَلَّمَ وَمَثَلُ مَنْ لَمْ يَرْفَعْ بِذَلِكَ رَأْسًا وَلَمْ يَقْبَلْ هُدَى اللَّهِ الَّذِي أُرْسِلْتُ بِهِ
Artinya: “Permisalan petunjuk dan ilmu yang aku dapatkan dari Allah adalah seperti permisalan air hujan yang deras menimpa bumi. Ada diantara tanah bumi itu Naqiyah, menerima air lalu menumbuhkan rumput dan tumbuhan yang banyak. Ada juga ajaadib, menampung air lalu Allah memberikan manfaat kepada manusia. Mereka minum, mengambil dan bercocok tanam. Air hujan ini juga menimpa sejenis tanah lain yaitu Qii’aan yang tidak menerima air dan tidak menumbuhkan rumputan. Demikian itulah permisalan orang yang berilmu (faqih) dalam agama dan mengambil manfaat darinya. Ia mengetahui dan mengajarkannya dan permisalan orang yang tidak menganggapnya sama sekali dan tidak menerima petunjuk Allah yang aku bawa”.[12]
5. Pohon kurma tidak dapat bercampur dengan tumbuhan pengganggu dan tumbuhan asing yang bukan jenisnya. Mereka ini dapat mengganggu dan melemahkan pertumbuhannya serta mengganggunya dalam menyerap air. Oleh karena itu diperlukan perawatan khusus dan selektif dari pemiliknya. Demikian juga seorang mukmin, mesti mendapatkan hal-hal yang dapat melemahkan iman dan keyakinannya. Juga mendapatkan perkara yang dapat mendesak iman dari hatinya. Oleh karena itu diperlukan introspeksi (muhasabah) dalam setiap waktu dan bersungguh-sungguh menjaganya. Juga berusaha selalu menghilangkan segala sesuatu yang mengotorinya, seperti was-was, mengikuti hawa nafsunya dan lain-lainnya. Allah berfirman:
وَالَّذِينَ جَاهَدُوا فِينَا لَنَهْدِيَنَّهُمْ سُبُلَنَا وَإِنَّ اللهَ لَمَعَ الْمُحْسِنِينَ
Artinya: “Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami.Dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik”. (QS. Al Ankabut: 69).
6. Pohon kurma memberikan hasilnya setiap waktu, sebagaimana firman Allah :
تُؤْتِي أُكُلَهَا كُلَّ حِينٍ بِإِذْنِ رَبِّهَا
Artinya: “pohon itu memberikan buahnya pada setiap waktu dengan seizin Rabbnya“. (QS. Ibrahim: 24-25).
Buah pohon ini dimakan waktu siang dan malam, baik dimusim dingin atau dimusim panas. Dimakan dalam bentuk kurma (tamar) atau busr atau Ruthab.[13] Demikian juga seorang mukmin amalan mereka naik pada pagi dan sore hari. Rabi’ bin Anas menyatakan: “Makna firman Nya: كُلَّ حِينٍ adalah setiap pagi dan sore hari, karena buah kurma selalu dapat dimakan diwaktu malam dan siang, baik musim dingin atau panas, baik berupa kurma, busr atau ruthab, demikian juga amalan seorang mukmin naik pada pagi dan sore harinya”[14]
Ibnu Jarir Ath Thobariy menyatakan dalam tafsir ayat ini: “Pendapat yang rojih menuruntku adalah pendapat yang menyatakan, makna (كُلَّ حِينٍ) dalam ayat ini adalah pagi dan sore, setiap saat, karena Allah menjadikan hasil pohon ini setiap saat dari buahnya untuk perumpamaan amalan dan perkataan seorang mukmin. Padahal sudah pasti amalan dan perkataan baik seorang mukmin diangkat kepada Allah setiap hari, bukan setiap setahun atau setengah tahun atau dua bulan sekali. Jika demikian, maka jelaslah kebenaran pendapat ini. Jika ada yang bertanya: “Pohon kurma mana yang menghasilkan buah setiap saat buah yang dimakan pada musim panas dan dingin? Jawabnya: adapun dimusim dingin, maka Thol’ (mayang kurma) adalah buahnya dan dimusim panas, maka balkh, busr, Ruthob dan kurma adalah buahnya. Jadi semuanya adalah buahnya”.[15]
7. Pohon kurma memiliki barokah dalam semua bagiannya. Semua bagiannya dapat dimanfaatkan. Demikian juga seorang mukmin, sebagaimana sabda Rasululloh Shallallahu alaihi Wassalam:
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ بَيْنَا نَحْنُ عِنْدَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ جُلُوسٌ إِذَا أُتِيَ بِجُمَّارِ نَخْلَةٍ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ مِنْ الشَّجَرِ لَمَا بَرَكَتُهُ كَبَرَكَةِ الْمُسْلِمِ فَظَنَنْتُ أَنَّهُ يَعْنِي النَّخْلَةَ فَأَرَدْتُ أَنْ أَقُولَ هِيَ النَّخْلَةُ يَا رَسُولَ اللَّهِ ثُمَّ الْتَفَتُّ فَإِذَا أَنَا عَاشِرُ عَشَرَةٍ أَنَا أَحْدَثُهُمْ فَسَكَتُّ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ هِيَ النَّخْلَةُ
Artinya: “Dari Abdillah bin umar beliau berkata: “Ketika kami duduk-duduk disisi Rasululloh Shalllallahu ‘alaihi Wassalam tiba-tiba diberikan jamaar (jantung kurma). Rasululloh shallahu ‘alaihi wassalam lalu berkata: “Sesungguhnya terdapat satu pohon, barokahnya seperti barokah seorang muslim”. Lalu aku menerka itu adalah pohon kurma lalu ingin aku sampaikan dia adalah pohon kurma, wahai Rasululloh. Kemudian aku menengok dan mendapatkan aku orang kesepuluh dan paling kecil, lalu aku diam. Rasululloh berkata: “Ia adalah pohon kurma”".[16]
Ibnu Hajar berkata: “Barokah pohon kurma ada pada semua bagiannya, senantiasa ada dalam setiap keadaannya. Dari mulai tumbuh sampai kering, dimakan semua jenis buahnya, kemudian setelah itu seluruh bagian pohon ini dapat diambil manfaatnya sampai-sampai bijinya digunakan sebagai makannan ternak. Demikian juga serabutnya dapat dijadikan sebagai tali serta yang lainnyapun demikian. Hal ini sudah jelas. Demikian juga barokah seorang muslim meliputi seluruh keadaannya. Juga manfaatnya terus menerus ada untuknya dan untuk orang lain sampai setelah matinyapun”.[17]
8. Pohon kurma disifatkan Rasululloh لَا يَسْقُطُ وَرَقُهَا . Sisi persamaannya dengan muslim dijelaskan dalam riwayat Al Haarits bin Abi Usamah dari hadits Ibnu Umar dari periwayatan yang lainnya dengan lafadz:
كُنَّا عِنْدَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَاتَ يَوْمٍ فَقَالَ إِنَّ مَثَلَ الْمؤْمِنِ كَمَثَلِ الشَجَرَةِ لَا تَسْقُطُ لَهَا أَنْمُلُةٌ أَتَدْرُوْنَ مَا هِيَ قَالُوا لاَ قَالَ هِيَ النَّخْلَةُ لَا تَسْقُطُ لَهَا أَنْمُلُةٌ وَ لَا تَسْقُطُ لَمُؤْمِنٍ دَعْوَةٌ
Artinya: “Kami berada bersama Rasulullah pada satu hari, lalu beliau bersabda: “Sesungguhnya permisalan seorang mukmin seperti permisalan pohon yang tidak gugur daunnya. Tahukah kalian pohon apa itu?” Mereka berkata: “Tidak” Lalu beliau menjawab: “Ia adalah pohon kurma tidak gugur daunnya dan seorang mukmin tidak gugur do’anya”.[18]
Jadi jelaslah sisi persamaan antara keduanya. Telah dimaklumi do’a telah disyariatkan dan dijanjikan akan dikabulkan sebagaiman firman Allah:
وَقَالَ رَبُّكُمُ ادْعُونِي أَسْتَجِبْ لَكُمْ إِنَّ الَّذِينَ يَسْتَكْبِرُونَ عَنْ عِبَادَتِي سَيَدْخُلُونَ جَهَنَّمَ دَاخِرِينَ
Artinya: “Dan Rabbmu berfirman:”Berdo’alah kepada-Ku,niscaya akan Ku-perkenankan bagimu. Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari menyembah-Ku akan masuk neraka Jahannam dalam keadaan hina dina”. (QS. Al Mu’min: 60)
Akan tetapi do’a akan dikabulkan dengan kesempurnaan syarat dan tidak adanya penghalang. Terkadang tidak dikabulkan karena tidak sebagian syaratnya atau keberadaan sebagian penghalangnya. Adabnya yang paling penting adalah kehadiran hati, pengharapan terkabulnya do’a dan tekad/azam dalam masalah tersebut.[19]
Ibnul Qayim memberikan makna lain terhadap hadits ini dengan menyatakan hal ini menunjukkan kekonsistenan pohon kurma menjadikannya sebagai pakaian dan perhiasan, sehingga tidak gugur pada musim dingin dan panas. Demikian juga seorang mukmin senantiasa konsisten memakai pakaian ketaqwaan dan perhiasannya sehingga menghadap Rabbnya.[20]
9. Pohon kurma disifatkan dalam ayat dengan thoyiibah (baik). Ini meliputi baik dalam pemandangan, gambar dan bentuk. Juga meliputi baik dalam rasa, buah dan manfaat. Demikian juga seorang mukmin memiliki sifat baik dalam segala urusan dan keadaannya, baik dzahir ataupun bathin. Oleh kerena itu ketika kaum mukminin masuk syurga langsung disambut para malaikat penjaganya dengan menyatakan:
وَسِيقَ الَّذِينَ اتَّقَوْا رَبَّهُمْ إِلَى الْجَنَّةِ زُمَرًا حَتَّى إِذَا جَآءُوهَا وَفُتِحَتْ أَبْوَابُهَا وَقَالَ لَهُمْ خَزَنَتُهَا سَلاَمٌ عَلَيْكُمْ طِبْتُمْ فَادْخُلُوهَا خَالِدِينَ
Artinya: “Dan orang-orang yang bertaqwa kepada Rabbnya dibawa ke surga berombong-rombongan (pula).Sehingga apabila mereka sampai ke surga itu sedang pintu-pintunya telah terbuka dan berkatalah kepada mereka penjaga-penjaganya: “Kesejahtera (dilimpahkan) atasmu, berbahagialah kamu! maka masukilah surga ini, sedang kamu kekal di dalamnya”. (QS. Az Zumar: 73) dan firmanNya:
الَّذِينَ تَتَوَفَّاهُمُ الْمَلاَئِكَةُ طَيِّبِينَ يَقُولُونَ سَلاَمٌ عَلَيْكُمُ ادْخُلُوا الْجَنَّةَ بِمَا كُنتُمْ تَعْمَلُونَ
Artinya: “(yaitu) orang-orang yang diwafatkan dalam keadaan baik oleh para malaikat dengan mengatakan (kepada mereka):”Salaamun’alaikum, masuklah kamu ke dalam surga itu disebabkan apa yang telah kamu kerjakan”. (QS. An Nahl: 32) serta firman Allah :
إِنَّ اللهَ يُدْخِلُ الَّذِينَ ءَامَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِن تَحْتِهَا اْلأَنْهَارُ يُحَلَّوْنَ فِيهَا مِنْ أَسَاوِرَ مِن ذَهَبٍ وَلُؤْلُؤًا وَلِبَاسُهُمْ فِيهَا حَرِيرٌ وَهُدُوا إِلَى الطَّيِّبِ مِنَ الْقَوْلِ وَهُدُوا إِلَى صِرَاطِ الْحَمِيدِ
Artinya: “Sesungguhnya Allah mamasukkan orang-orang beriman dan mengerjakan amal yang saleh ke dalam surga-surga yang di bawahnya mengalir sungai-sungai. Di surga itu mereka diberi perhiasan dengan gelang-gelang dari emas dan mutiara, dan pakaian mereka adalah sutera.
Dan mereka diberi petunjuk kepada ucapan-ucapan yang baik dan ditunjuki(pula) kepada jalan (Allah) yang terpuji“. (QS. Al Hajj: 23-24)
10. Pohon kurma disifatkan dengan sabda Rasulullah:
إِنَّ مَثَلَ الْمؤْمِنِ كَمَثَلِ النَّخْلَةُ ماَ أَخَذَتَ مِنْ شَيْئٍ نَفَعَكَ
Artinya: “Sesungguhnya permisalan mukmin seperti pohon kurma. Tidaklah kamu mengambil sesuatu darinya, niscaya bermanfaat bagimu.[21]
Pohon kurma seluruhnya bermanfaat, demikian juga seorang mukmin ketika bergaul dengan teman dan sekitarnya. Ia tidak menampakkan kecuali akhlak yang mulia, adab budi pekerti yang luhur, muamalah baik, memebrikan kebaikan dan tidak mengganggu mereka. Selalu memberikan manfaat kepada mereka dalam seluruh pergaulannya.
11. Pohon kurma memiliki perbedaan mencolok, satu dengan lainnya. Perbedaan dalam bentuk, jenis dan buahnya. Pohon kurma tidak hanya satu tingkat dalam kebagusan dan kuwalitas, sebagaimana firman Allah:
وَفِي اْلأَرْضِ قِطَعٌ مُّتَجَاوِرَاتٌ وَجَنَّاتٌ مِّنْ أَعْنَابٍ وَزَرْعٌ وَنَخِيلٌ صِنْوَانٌ وَغَيْرُ صِنْوَانٍ يُسْقَى بِمَآءٍ وَاحِدٍ وَنُفَضِّلُ بَعْضَهَا عَلَى بَعْضٍ فِي اْلأُكُلِ إِنَّ فِي ذَلِكَ لأَيَاتٍ لِّقَوْمٍ يَعْقِلُونَ
Artinya: “Dan di bumi ini terdapat bagian-bagian yang berdampingan, dan kebun-kebun anggur, tanaman-tanaman dan pohon korma yang bercabang, disirami dengan air yang sama.Kami melebihkan sebagian tanam-tanaman itu atas sebagian yang lain tentang rasanya.Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang berfikir“. (QS. Ar Ra’d: 4)
Demikianlah pohon kurma berbeda dalam rasa, bentuk dan jenisnya, sebagiannya lebih baik dari sebagian yang lainnya.
Demikian juga keadaan antar kaum mukminin. Kaum mukminin bertingkat-tingkat keimanannya dan tidak satu tingkat dalam iman. Allah berfirman:
ثُمَّ أَوْرَثْنَا الْكِتَابَ الَّذِينَ اصْطَفَيْنَا مِنْ عِبَادِنَا فَمِنْهُمْ ظَالِمٌ لِنَفْسِهِ وَمِنْهُم مُّقْتَصِدٌ وَمِنْهُمْ سَابِقٌ بِالْخَيْرَاتِ بِإِذْنِ اللهِ ذَلِكَ هُوَالْفَضْلُ الْكَبِيرُ
Artinya: “Kemudian Kitab itu Kami wariskan kepada orang-orang yang Kami pilih diantara hamba-hamba Kami, lalu diantara mereka ada yang menganiaya diri mereka sendiri dan diantara mereka ada yang pertengahan dan diantara mereka ada (pula) yang lebih dahulu berbuat kebaikan dengan izin Allah.Yang demikian itu itu adalah karunia yang amat besar“. (QS. Fatir: 32).
12. Pohon kurma termasuk pohon yang paling sabar menghadapi angin dan terpaannya serta lainnya dari badai angin. Terkadang menerpanya dan terkadang menggulungnya. Kebanyakan tumbuhan tidak mampu sabar bertahan dari kekeringan air seperti kesabaran pohon kurma. Demikian juga seorang mukmin selalu sabar dalam menghadapi bala, mala petaka dan musibah. Berkumpul pada seorang mukmin kesabaran dengan ketiga jenisnya, yaitu sabar dalam ketaatan Allah, sabar dari kemaksiatan dan sabar menghadapi takdir yang menyedihkan. Allah berfirman:
وَلَنَبْلُوَنَّكُمْ بِشَيْءٍ مِنَ الْخَوْفِ وَالْجُوعِ وَنَقْصٍ مِّنَ اْلأَمْوَالِ وَاْلأَنفُسِ وَالثَّمَرَاتِ وَبَشِّرِ الصَّابِرِينَ الَّذِينَ إِذَآ أَصَابَتْهُم مُّصِيبَةٌ قَالُوا إِنَّا للهِ وَإِنَّآ إِلَيْهِ رَاجِعُونَ أُوْلآئِكَ عَلَيْهِمْ صَلَوَاتُ مِّن رَّبِّهِمْ وَرَحْمَةٌ وَأُوْلآئِكَ هُمُ الْمُهْتَدُونَ
Artinya: “Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadam, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar, (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan:”Innaa lillahi wa innaa ilaihi raaji’uun”. Mereka itulah yang mendapatkan keberkatan yang sempurna dan rahmat dari Rabbnya, dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk. (QS. Al Baqarah:155-157).
Dan firmanNya:
قُلْ يَاعِبَادِ الَّذِينَ ءَامَنُوا اتَّقُوا رَبَّكُمْ لِلَّذِينَ أَحْسَنُوا فِي هَذِهِ الدُّنْيَاحَسَنَةٌ وَأَرْضُ اللهِ وَاسِعَةٌ إِنَّمَا يُوَفَّى الصَّابِرُونَ أَجْرَهُم بِغَيْرِ حِسَابٍ
Artinya: “Katakanlah:”Hai hamba-hamba-Ku yang beriman, bertaqwalah kepada Rabbmu”.Orang-orang yang berbuat baik di dunia ini memperoleh kebaikan.Dan bumi Allah itu adalah luas.Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala tanpa batas”. (QS. Az Zumar: 10)
13. Pohon kurma semakin tua semakin bertambah baik dan tinggi kualitasnya. Demikian juga seorang mukmin jika panjang usianya maka bertambah kebaikan dan amal sholehnya. Imam At Tirmidziy meriwayatkan dari sahabat Abdullah bin Busr, beliau berkata:
أَنَّ أَعْرَابِيًّا قَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ مَنْ خَيْرُ النَّاسِ قَالَ مَنْ طَالَ عُمُرُهُ وَحَسُنَ عَمَلُهُ
Artinya: “Seorang a’robiy bertanya kepada Rasulullah: “Wahai Rasulullah siapakah orang yang terbaik? Rasulullah Shallallahu’alaihi Wassalam menjawab: “Orang yang panjang umur dan baik amalannya”.[22]
14. Pohon kurma tidak pernah berhenti memberi manfaat walaupun gagal berbuah. Manusia dapat mengambil pelepah, daun dan serabutnya untuk kemanfaatan yang banyak. Demikian juga seorang mukmin tidak pernah lepas dari kebaikan. Selalu mengeluarkan kebaikan dan terjaga dari berbuat kejelekan, sebagaimana sabda Rasulullah:
أَلَا أُخْبِرُكُمْ بِخَيْرِكُمْ مِنْ شَرِّكُمْ قَالَ فَسَكَتُوا فَقَالَ ذَلِكَ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ فَقَالَ رَجُلٌ بَلَى يَا رَسُولَ اللَّهِ أَخْبِرْنَا بِخَيْرِنَا مِنْ شَرِّنَا قَالَ خَيْرُكُمْ مَنْ يُرْجَى خَيْرُهُ وَيُؤْمَنُ شَرُّهُ وَشَرُّكُمْ مَنْ لَا يُرْجَى خَيْرُهُ وَلَا يُؤْمَنُ شَرُّهُ
Artinya: “Maukah kalian aku beritahu orang terbaik dari terjelak dari kalian. Lalu beliau mengulanginya tiga kali. Lalu seorang bertanya: “Wahai Rasulullah beritahulah kami tentang orang terbaik dari terjelak dari kami” Rasululloh menjawab: “orang terbaik dari kalian adalah orang yang diharapkan kebaikannya dan aman dari kejelekannya dan orang terjelek adalah orang yang tidak diharapkan kebaikannya dan manusia tidak aman dari kejelekannya”.[23]
Imam Ikrimah menafsirkan firman Allah : كَشَجَرَةٍ طَيِّبَةٍ dengan menyatakan: “Dialah pohon kurma yang senantiasa memberi manfaat”.[24]
Demikian juga seorang mukmin senantiasa memberi manfaat sesuai dengan bagian dan kekuatan imannya.
15. Pohon kurma mudah memetik buahnya, karena pohon kurma terkadang pendek sehingga mudah memetiknya dan terkadang tinggi besar. Walaupun besar masih mudah memanjatnya dibanding memanjat pohon lain yang setingginya, karena terdapat tangga dan tempat memijak sampai keatas. Demikian juga seorang mukmin mudah mengambil kebaikan darinya.
16. Buah kurma termasuk buah yang paling bermanfaat, karena ruthabnya dimakan sebagai buah-buahan dan manis. Juga kurma yang telah kering menjadi makanan pokok, lauk dan buah serta dapat dihasilkan darinya cuka dan pemanis. Kurma juga dibuat sebagai obat dan minuman. Kemanfaatannya sudah cukup jelas bagi yang menggunakannya. Demikian juga mukmin memiliki keumuman manfaat dan keaneka ragaman kebaikan dan kebagusannya.
Ditambah lagi buah kurma memiliki rasa manis dan iman pun memiliki rasa manis yang tidak dapat merasakannya kecuali orang yang memiliki iman yang benar. Oleh karena itu Rasulullah bersabda:
ثَلَاثٌ مَنْ كُنَّ فِيهِ وَجَدَ حَلَاوَةَ الْإِيمَانِ أَنْ يَكُونَ اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِمَّا سِوَاهُمَا وَأَنْ يُحِبَّ الْمَرْءَ لَا يُحِبُّهُ إِلَّا لِلَّهِ وَأَنْ يَكْرَهَ أَنْ يَعُودَ فِي الْكُفْرِ كَمَا يَكْرَهُ أَنْ يُقْذَفَ فِي النَّارِ
Artinya: “Tiga perkara, jika seorang memilikinya niscaya merasakan manisnya iman, menjadikan Allah dan RasulNya lebih dicintai dari yang lainnya dan mencintai seseorang hanya karena Allah serta benci kembali kepada kekufuran sebagaimana benci dilemparkan kedalam api“.[25]
Imam Abu Muhammad bin Abi Jamroh menyatakan: “Diibaratkan dengan rasa manis dalam hadits ini, karena Allah menyerupakan iman dengan pohon dalam firmanNya:
أَلَمْ تَرَ كَيْفَ ضَرَبَ اللهُ مَثَلاً كَلِمَةً طَيِّبَةً كَشَجَرَةٍ طَيِّبَةٍ
Kalimat didalam ayat ini adalah kalimat ikhlas dan pohonnya adalah pokok iman, cabangnya adalah mengikuti perintah dan menjauhi larangan. Sedang daunnya adalah kebaikan yang diperhatikan seorang mukmin, buahnya adalah ketaatan”.[26]
17. Kesamaan sifat pohon kurma dengan sifat mukmin sehingga Ibnul Qayyim menyatakan: “Sebagian orang ada yang telah menyamakan manfaat-manfaat ini (manfaat pohon kurma) dengan sifat muslim. Mereka menjadikan setiap manfaat darinya dihadapkan dengan satu sifat muslim. Ketika sampai pada duri pohon kurma, maka dihadapkan kepada sifat keras dan tegas terhadap musuh Allah dan orang fajir. Sehingga kekerasan dan ketegasan terhadap mereka (para musuh tersebut) seperti kedudukan duri pohon kurma dan sikap mereka terhadap mukmin yang taqwaeperti kedudukan ruthab yang manis dan lembut. Allah berfirman:
أَشِدَّآءُ عَلَى الْكُفَّارِ رُحَمَآءُ بَيْنَهُمْ
Artinya: “Keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka“. (QS. Al Fath:29) [27]
Oleh karena itu para ulama yang terkenal keras dan tegas dalam membantaha orang-orang bathil dinamakan duri dileher mereka.
Demikianlah diantara kesamaan yang ada. para pensyarah hadits ini memberikan beberapa kesamaan yang lainnya, namun semuanya lemah dan sebagiannya batil. Imam Ibnu Hajar telah meringkasnya dikitab Fathul Bari dengan menyatakan: “Adapun orang yang menganggap letak persamaan antara muslim dengan pohon kurma dari sisi: jika dipotong kepalanya ia akan mati, atau karena pohon kurma tidak berbuah tanpa perkawinan, atau ia mati dengan ditenggelamkan, atau bau putiksarinya seperti mani manusia atau ia minum dari bagian atasnya. Semuanya ini lemah, karena sisi kesamaan tersebut juga untuk seluruh manusia tidak khusus kepada muslim. Yang lebih lemah lagi adalah pernyataan bahwa pohon kurma diciptakan dari tanah sisa penciptaan adam, karena hadits yang menunjukkannya tidak shohih, Wallahu a’laam”.[28]
Dengan demikian telah kita ketahui iman adalah pohon mubarokah yang memiliki manfaat dan faedah besar serta buah hasil. Iman memiliki tempat khusus penanaman dan siraman khusus, juga memiliki pokok, cabang dan buah. Tempatnya adalah hati seorang mukmin, siramannya adalah wahyu dan pokoknya adalah rukun iman yang enam. Sedangkan cabangnya adalah amalan sholeh dan ketaatan yang beraneka ragam yang dilakukan seorang mukmin dan buahnya adalah semua kebaikan dan kebahagiaan yang dirasakan seorang mukmin didunia dan akherat. Inilah diantara buah dan hasil iman. Wallahu a’lam bis Showaab.
Faedah yang diambil dari Hadits.
Di antara faedah yang diambil dari hadits ini adalah:
Orang yang diberi teka-teki hendaknya memperhatikan indicator yang menunjukkan jawabannya.
Ujian seorang alim terhadap santrinya tentang sesuatu yang belum jelas dan menjelakannya jika mereka belum faham.
Motivasi untuk memamahami ilmu. Imam Bukhori membuat bab untuk hadits ini bab Fahm fil Ilmu (memahami ilmu)
Dhorbul Amtsal (membuat permisalan) dan asybah (contoh) untuk menambah faham
Tanya jawab.
Penggambaran makna untuk mengokohkan pemahaman
Tasybih(menyamakan) sesuatu dengan sesuatu tidak mesti harus sama dalam setiap sisi
Imam memberikan permasalahan kepada anak buahnya untuk menguji ilmu yang dimiliki mereka. (Bukhori)
Ulama besar terkadang tidak tahu sesuatu yang diketahui orang yang dibawahnya, karena ilmu itu pemberian Allah.
Malu dianggap baik selama tidak melepas maslahat yang ada.
Tauqiir (menghormati) orang yang lebih tua.
Penulis: Ustadz Kholid Syamhudi, Lc.

[1] Syarah Shohih Muslim 17/152 dan lihat juga Fathul Bariy 1/146.
[2] Lihat Mu’jamul Wasith 1/45.
[3] Fathul Bariy 1/146.
[4] Lihat makalah Syeikh Abdirrozaaq Al ‘Abaad dalam majalah Al Jaami’ah Al Islamiyah edisi 107 tahun 29, 1418-1419 hal. 205
[5] dibawakan Ibnu Hajar dalam Fathul Baariy 1/1







jazakumullah

terjaganya Hadits Nabi Muhammad S.a.w

AHLAN WA SAHLAN

Terjaganya Hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam

Allah ta’ala mengutus Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk membimbing manusia kepada jalan yang lurus dan memerintahkan mereka untuk mentaati dan mencontoh prilaku beliau. Allah ta’ala berfirman :
وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا? وَاتَّقُوا اللَهَ ? إِنَّ اللَهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ
Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia.Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah; dan bertaqwalah kepada Allah.Sesungguhnya Allah sangat keras hukuman-Nya. (QS. Al-Hasyr: 7)
Beliaupun shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menunaikan semua tugasnya dan meninggalkan al-Qur`an dan Sunnah sebagai petunjuk bagi manusia hingga hari kiamat dalam mencapai keselamatan dunia dan akherat. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
تَرَكْتُ فِيْكُمْ شَيْئَيْنِ لَنْ تَضِلُّوْا مَا تَمَسَّكْتُمْ بِهِمَا كِتَابَ اللهِ وَ سُنَّتِيْ
Aku tinggalkan pada kalian dua hal, kalian tidak akan sesat selama kalian berpegang teguh kepada keduanya yaitu Kitabullah (al-Qur`an) dan Sunnahku. (HR al-Haakim dan dishohihkan al-Albani dalam Shohih al-Jâmi’ as-Shoghîr no. 2937)
Dari sini jelaslah hadits-hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjadi salah satu sumber pengambilan hukum syari’at baik berupa aqidah, hukum fikih dan yang lainnya. Sunnah-sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ini menjadi sumber kehidupan seorang muslim dalam menggapai kebahagian dan keridho’an disisi Allah ta’ala . Jadilah hadits-hadits ini menjadi sumber dan asas syari’at yang kekal dan terjaga keontetikannya.Syeikh Abdul muhsin al-Abâd hafizhahullah menyatakan: Sesungguhnya Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah wahyu yang Allah sampaikan kepada NabiNya shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dia bersama al-Qur`an yang mulia adalah asas agama islam dan sumber hukumnya. Keduanya saling terkait sebagaimana kaitan syahadat Lâ ilâha Illa Allah dan syahadat Muhammad Rasulullah. Siapa yang tidak beriman kepada Sunnah berarti tidak beriman kepada al-Qur’an. ( Lihat: Kitab Miftâh al-Jannah Fî al-Ihtijâj Bi as-Sunnah karya al-Suyuthi, cetakan kelima tahun 1415H terbitan al-Jâmi’ah al-Islamiyah Madinah hal. 3)Memang keduanya adalah sumber utama dalam mengenal aqidah dan hukum-hukum syari’at yang saling melengkapi, sebab Sunnah adalah penjelas kandungan al-Qur’an yang mujmal (global) dan membatasi kemutlakannya. Bahkan sebenarnya ia adalah penerapan al-Qur’an melalui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang Allah ta’ala sifatkan dengan ketinggian akhlaknya dalam firmanNya:
وَإِنَّكَ لَعَلَى? خُلُقٍ عَظِيم
Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung. (QS.Al Qolam: 4)
Demikianlah ummul Mukminin A’isyah radhiyallahu ‘anha ketika ditanya tentang akhlak Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak dapat mengungkapkannya kecuali dengan menyatakan:
كَانَ خُلُقُهُ الْقُرْآنَ
Akhlak beliau adalah al-Qur`an (HR Ahmad no. 23460 dan dishohihkan al-Albani dalam Shohih al-Jâmi’ as-Shoghîr no 4811).
Sehingga Allah ta’ala berfirman:
لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللهَ وَالْيَوْمَ الْآخِرَ وَذَكَرَ اللَه كَثِيرًا
Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah. (QS. Al Ahdzab: 21)
Allah ta’ala Menjaga sunnah RasulNya
Eratnya hubungan al-Qur`an dan Sunnah ini tidak akan dapat dipisah-pisah dalam memahami islam yang benar dan dikehendaki Allah ta’ala. Ironisnya, kedudukan sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang tinggi ini membuat musuh-musuh islam berang dan berusaha merusaknya dengan membuat-buat perkataan yang disandarkan kepada beliau shallallahu ‘alaihi wasallam . bahkan sampai berusaha melontarkan syubhat-syubhat untuk mengingkari sunnah sebagai sumber hokum. Namun Allah ta’ala telah menjamin keontetikannya dan akan memeliharanya sebagaimana menjaga dan memelihara al-Qur`an. Seperti yang dijelaskan Allah dalam firmanNya:
إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ
Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan al-Dzikr, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya. (QS. Al Hijr: 9)
Ayat yang mulia ini adalah nash penjagaan al-Qur`an dan juga terkandung penjagaan terhadap hadits-hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, karena Allah ta’ala berfirman:
وَأَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الذِّكْرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نُزِّلَ إِلَيْهِمْ وَلَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُونَ
Dan Kami turunkan kepadamu al-Dzikr, agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka supaya mereka memikirkan, (QS. An Nahl: 44)
(dalam ayat ini) Allah ta’ala memerintahkan RasulNya shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk menjelaskan al-Qur`an kepada manusia, maka seandainya penjelasan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadap al-Qur`an tidak terjaga dan terpelihara (mahfûzh) tentulah tidak dapat berpegang teguh dan beramal dengan al-Qur`an. Padahal Allah juga berfirman:
وَمَا يَنْطِقُ عَنِ الْهَوَى? 3 إِنْ هُوَ إِلَّا وَحْيٌ يُوحَى? 4
dan tiadalah yang diucapkannya itu (al-Qur’an) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya), (QS. An Najm: 3-4) .
(lihat: Zawâbigh Fî Wajhi as-Sunnah Qadiman wa Haditsan, Sholahuddin Maqbûl Ahmad, cetakan pertama tahun 1411 H, Islamic Sceintific Research Academy, Newdelhi, India, hal. 7-8)
Dengan demikian jelaslah bahwa janji Allah untuk memelihara al-Dzikr tidak hanya terbatas pada al-Qur`an saja tapi yang dimaksud adalah menjaga syari’at dan agama Allah ta’ala yang disampaikan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan ia lebih umum dari sekedar al-Qur`an atau Sunnah saja. (lihat: As-Sunnah wa Makânatuha Fî al-Tasyri’ al-Islami, Musthofa as-Sibaa’I, cetakan keempat tahun 1405 H , al-Maktab al-Islami, Baerut, hal. 156)
Ibnu Hazm rahimahullah dalam kitab al-Ihkaam (1/121) menyatakan: Tidak ada perbedaan antara para ulama ahli lughah (bahasa Arab) dan syari’at bahwa semua wahyu yang turun dari Allah ta’ala itu adalah al-Dzikru al-Munazzal . semua wahyu terpelihara dengan pemeliharaan Allah ta’ala dengan pasti dan semua yang Allah jamin pemeliharaannya maka terjaga tidak akan hilang dan tidak akan terubah sedikitpun yang tidak ada penjelasan tentang kebatilannya.Kemudian beliau membantah orang yang menganggap pengertian al-Dzikr dalam ayat diatas sebagai al-Qur`an saja dengan menyatakan: ini adalah klaim dusta yang tidak berdasarkan bukti dan pengkhususan kata al-Dzikr tanpa dalil… kata al-Dzikr adalah nama umum untuk semua yang Allah ta’ala turunkan kepada RasulNya n berupa al-Qur`an atau sunnah yang merupakan wahyu penjelas al-Qur`an. Juga Allah ta’ala berfirman:
وَأَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الذِّكْرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نُزِّلَ إِلَيْهِمْ وَلَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُونَ
Dan Kami turunkan kepadamu al-Dzikr, agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka supaya mereka memikirkan, (QS. An Nahl: 44)
Sehingga benar beliau n diperintahkan untuk menjelaskan al-Qur`an kepada manusia. Dalam al-Qur`an ada banyak perintah mujmal seperti sholat, zakat, haji dan selain itu yang kita tidak ketahui apa yang Allah ta’ala wajibkan dengan lafadz al-Qur`an namun dengan penjelasan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam . Apabila penjelasan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadap yang global (mujmal) tidak terpelihara dan tidak terjamin keselamatannya dari yang bukan dari sunnah, maka tidak dapat mengambil manfaat dari nash al-Qur`an, lalu hilanglah kebanyakan syari’at yang diwajibkan kepada kita dan kita tidak tahu kebenaran yang Allah ta’ala kehendaki. (Dinukil dari kitab as-Sunnah wa Makânatuha Fî al-Tasyri’ al-Islami hal. 156-158)Demikian juga pemeliharaan al-Qur`an tidak sempurna kecuali dengan menjaga dan memilihara sunah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Hal itu karena makna kandungan al-Qur`an terrefleksikan pada akhlak dan amalan beliau. Sehingga mengingkari, tidak menggunakan dan membiarkan satu sunnah yang shohih atau menyimpangkan dan mentakwilkannya keluar dari maksudnya serta memahaminya diluar ketentuan syari’at adalah sama dengan meninggalkan dan tidak peduli dengan al-Qur`an. (Lihat : Kitab Zawâbigh hal.8)
Bentuk Penjagaan Allah terhadap Sunnah
Jelaslah seluruh yang disampaikan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang agama semuanya wahyu dan al-Dzikr. Semuanya terjaga dan terpelihara dengan penjagaan dan pemeliharaan Allah.Adapun al-Qur`an maka semuanya terpelihara dan dinukilkan secara mutawatir. Sedangkan Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang merupakan penjelas al-Qur`an , pengkhusus lafadz-lafadz umumnya dan pembatas lafadz-lafadz mutlaknya pun terjaga dan terpelihara. Diantara yang Allah ta’ala jadikan sebagai sebab pemeliharaan dan penjagaan sunnah adalah sebagai berikut:
1. Thô`ifah al-Manshuroh
Allah ta’ala ciptakan sekelompok dari umat islam yang senantiasa menegakkan kebenaran sampai hari kiamat, sebagaimana disampaikan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabda beliau:
لَا تَزَالُ طَائِفَةٌ مِنْ أُمَّتِي ظَاهِرِينَ عَلَى الْحَقِّ لَا يَضُرُّهُمْ مَنْ خَذَلَهُمْ حَتَّى يَأْتِيَ أَمْرُ اللَهِ وَهُمْ كَذَلِكَ
Senantiasa ada sekelompok dari umatku yang menang diatas kebenaran, tidak merugikan mereka orang-orang yang menghina mereka hingga datang keputusan Allah dan mereka dalam keadaan demikian. (HR Muslim no. 3544)
Dengan adanya umat yang menegakkan kebenaran dan memenanginya maka tentunya akan dapat memelihara keontetikan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Hal ini terbukti dengan adanya perhatian para salaf umat dan ulama muhadditsin disetiap zaman dan tempat.
2. Perhatian salaf sholeh terhadap sunnah
Allah ta’ala menyiapkan pembela sunnah dengan menciptakan generasi salaf sholeh dan setelah mereka yang telah memberikan perhatian besar kepada sunnah. Perhatian salaf umat ini terhadap sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sangat beragam sesuai dengan kemampuan dan sarana yang ada disetiap zaman. Oleh karena itu didapatkan mereka telah mengerahkan seluruh kesungguhan dan kemampuan serta beragam sarana dalam memperhatikan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam baik berupa ilmu dan amal, menghafal dan menulisnya, mempelajari dan menyebarkannya kepada umat manusia. Setelah wafat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam para sahabat memberikan perhatian lebih dari sebelumnya dalam menjaga sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, diantaranya menghafal dan tatsabut (klarifikasi) sehingga salah seorang mereka bepergian untuk satu hadits sepanjang perjalanan sebulan dalam rangka cek ulang (tatsabut) tentang hafalannya. Demikian juga menulisnya dalam lembaran shahifah kemudian menyebarkannya diantara manusia. Semua ini disesuaikan dengan metodologi amaliyah dan ilmiyah.Demikian pula para Tabi’in memberikan perhatian terhadap sunnah yang dapat diwujudkan dalam banyak bentuk diantaranya:1. Perhatian dalam menghafalnya2. Bertanya tentang sanad3. mencari tahu keadaan para perawi dan penukil hadits yang menghasilkan ilmu rijal. Ilmu rijal ini menjadi salah satu keistimewaan umat islam.4. Tadwin (kodefikasi) sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang dimulai lembaran sahifah hingga menjadi karya tulis yang memiliki bab dan tersusun rapi. (Lihat: Tadwin as-Sunnah An-nabawiyah, Nasy’atuhu wa Tathawwuruhu, DR. Muhammad bin Mathor az-Zahrôni, cetakan kedua tahun 1419H, Dar al-Khudhairi, Madinah Nabawiyah hal. 38)
3. Ulama-ulama muhaditsin.
Allah ta’ala telah memberikan taufiq kepada sejumlah besar dari kalangan ulama-ulama muhadditsin pada setiap masa dan tempat untuk meriwayatkannya, menyebarkannya, menulisnya, menggunakannya dalam menepis kebatilan dan melakukan hidmat yang sempurna dan tiada bandingannya terhadap sunnah dalam sejarah dunia. Ulama muhadditsin telah mengeluarkan segala kemampuan dan kekuatannya dalam menjaga sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dari penambahan dan pengurangan sehingga bila ditambah satu huruf pada matan hadits akan mereka jelaskan. Ibnu Hibban dalam mensifatkan ulama Muhadditsin menyatakan, Hingga salah seorang mereka seandainya ditanya tentang jumlah huruf dalam sunnah-sunnah untuk setiap sunnah tentulah mereka akan sampaikan jumlahnya dan seandainya ditambahkan padanya huruf alif atau wawu, tentulah akan dikeluarkan secara paksa dan akan ditampakkan. (lihat: Manhaj al-Muhadditsin Fî Taqwiyât al-Ahâdits al-Hasanah wa al-Dho’ifah, DR. al Murtadho al-Zein Ahmad, cetakan pertama tahun 1415 H , Maktabah ar-Rusyd hal 7)
Manshur bin ‘Ammâr as-Sulami al-Khurâsâni dalam mensifati ahlu hadits menyatakan: Allah ta’ala menugaskan penjagaan atsar yang menafsirkan al-Qur`an dan sunnah-sunnah yang kokoh bangunannya sekelompok orang-orang pilihan. Allah ta’ala memberikan mereka taufiq untuk mencarinya dan menulisnya dan memberikan kekuatan kepada mereka dalam memelihara dan menjaganya. Juga memberikan kepada mereka kecintaan membaca dan mempelajarinya dan menghilangkan dari mereka perasaan lelah dan bosan, duduk dan bepergian, mengorbankan jiwa dan harta dengan menyeberangi hal-hal yang menakutkan. Mereka bepergian dari satu negeri kenegeri lainnya untuk menuntut ilmu di setiap tempat dalam keadaan rambut yang kusut, pakaian yang compang camping, perut yang lapar, mulut yang kering, wajah yang pucat karena kelelahan dan kelaparan dan badan yang kurus. Mereka memiliki satu tekad keras dan ridho kepada ilmu sebagai petunjuk dan pemimpinnya, tidaklah rasa lapar dan haus memutus mereka dari hal itu. Juga musim panas dan dingin tidak membuat mereka bosan dalam memilah-milah yang shohih dari yang bermasalah dan yang kuat dari yang lemah (dari sunnah-sunnah) dengan pemahaman yang kokoh, pandangan yang luas dan hati yang sangat mengerti kebenaran. Sehingga dapat menjaga dari kesesatan orang yang suka menduga-duga, kebidahan orang-orang mulhid dan kedustaan para pendusta. Seandainya kamu melihat mereka diwaktu malam hari telah menghidupkannya dengan menulis semua yang telah mereka dengar dan mengoreksi semua yang telah mereka kumpulkan dalam keadaan menjauhi kasur yang empuk dan pembaringan yang menggiurkan. Rasa kantukpun telah menguasai mereka sehingga menidurkan mereka dan berlepasanlah pena-pena dari telapak tangan mereka, lalu (seketika itu juga) mereka tersadar dalam keadaan terkejut. Kelelahan telah memberikan rasa sakit pada punggung-punggung mereka dan keletihan bergadang telah melelahkan akal pikiran mereka sehingga mereka berusa menghilangkannya untuk mengistirahatkan badan mereka dan berusaha berpindah dari satu tempat ketempat yang lain untuk menghilangkan rasa kantuk dan tidurnya dan memijat-mijat mata dengan tangan mereka kemudian kembali menulis karena semangat yang tinggi dan selera mereka kepada ilmu. (hal ini) tentulah membuatmu mengerti bahwa mereka adalah penjaga islam dan penjaga gudang ilmu Allah ta’ala. Apabila mereka telah selesai menunaukan sebagian yang mereka tuntut dari keinginan-keinginan mereka tersebut, maka mereka pulang menuju negeri mereka lalu duduk menetap dimasjid-masjid dan memakmurkannya dengan menggunakan pakaian ketawadu’an (kerendahan hati), pasrah dan menyerah. Mereka berjalan dengan rendah hati, tidak mengganggu tetangga dan tidak melakukan perbuatan buruk hingga apabila ada penyimpangan atau orang yang keluar dari agama, mereka keluar sebagaimana keluarnya singa dari kandangnya mempertahankan syiar-syiar islam. (Lihat: Al-Muhaddits al-Fâshil Baina ar-Râwi wa al-Wâ’I hal. 220-221 dinukil dari Manhaj al-Muhadditsin Fi Taqwiyât al-Ahâdits al-Hasanah wa al-Dho’ifah hal. 6-7)Demikianlah mereka manjadi penjaga sunnah-sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di sepanjang masa.
4. Rihlah Fî Tholabi al-Hadits
Diantara perhatian dan usaha para ulama menjaga sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah dengan melakukan bepergian mengumpulkan hadits (Rihlah Fî Tholabi al-Hadits). Mereka mengerahkan segala daya dan upaya untuk mengumpulkan hadits dan sanad-sanadnya hingga bepergian yang menempuh jarak sangat jauh dengan titik kesulitan yang demikian besar. Rihlah ini sudah menjadi tradisi mereka dalam menuntut ilmu dan memiliki pangaruh yang sangat besar dalam penyebaran hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan memperbanyak jalur periwayatannya, sebagaimana juga memiliki pengaruh baik dalam mengenal para perawi dengan sangat detail dan dalam, sebab seorang Muhaddits yang pergi kesatu negeri lalu mengenal ulamanya, berbicara dengan mereka dan bertanya. Dengan demikian juga dapat membongkar pemalsu hadits dan menghilangkan banyak hadits palsu yang ada pada umat ini, sehingga umat terlepas dari musibah penyimpangan agama. Pantaslah bila Ibrohim bin Adham menyatakan, Allah telah menghilangkan musibah dari umat ini dengan bepergiannya ash-hâbu al-Hadits.( Lihat: Tadwien as-Sunnah 44 dan 50)
5. Kaidah ilmu jarh wa ta’dil dan Mushtholah
Usaha para ulama dari zaman sahabat hingga kini menghasilkan Kaidah ilmu mustholah dan ilmu al-jarh wa Ta’dil. Para ulama menulis dan menyusun ilmu-ilmu ini dalam rangka memerangi kebidahan dan menjaga agama ini dari kedustaan para pendusta dan penyimpangan serta takwil orang bodoh. Lihatlah penyataan imam al-Haakim dalam Muqaddimah kitab Ma’rifat ‘Ulûm al-Hadits yang berbunyi: Sungguh aku melihat kebid’ahan dizaman kita ini telah banyak dan pengetahuan orang terhadap ushul sunnan sangat sedikit dengan tenggelamnya mereka dalam penulisan Hadits dan banyak mengumpulkannya dengan lalai dan tidak perhatian. Hal ini mendorongku untuk menulis kitab yang ringan mencakup bagian dan jenis ilmu Hadits yang dibutuhkan para penuntut hadits yang terus menerus menulis hadits-hadits…(Lihat: Ma’rifat ‘Ulûm al-Hadits, Al-Hâkim Abu Abdillah Muhammad bin Abdillah an-naisâburi, tahqiq DR. as-Sayyid Mu’azhzhom Husein. Cetakan kedua tahun 1397 H, Dar al-Kutub al-Ilmiyah, Bairut, hal. 1)
Demikian juga Para sahabat telah meletakkan manhaj (metodologi) pengenalan kejujuran perawi dari kedustaannya dan diikuti para tabi’in. para ulama semakin memperluas setiap kali menjauh dari zaman generasi terbaik umat ini. Belum habis abad ketiga hijriyah, ilmu ini telah tersebar dan dikenal. Ilmu ini dinamakan ilmu al-jarh wa Ta’dil. (lihat: Dirâsât Fî al-Jarh Wa Ta’dil, DR Muhammad Dhiya’urrahman al-A’zhomi, cetakan keempat tahun 1419H, Maktabag al-Ghurabâ’ al-Atsariyah, madinah hal.20)
Kaidah-kaidah ilmu hadits ini mempelajari seluruh sisi hadits secara sempurna dan dalam, sehingga dapat memilah-milah antara yang shohih dengan yang lemah dan palsu. Ini semua merupakan satu bentuk penjagaan Allah terhadap Sunnah.Demikianlah sekelumit permasalahan penjagaan Allah ta’ala terhadap sunnah RasulNya, mudah-mudahan bermanfaat.
Penulis: Kholid Syamhudi Lc
Maraji’:1. Miftâh al-Jannah Fî al-Ihtijâj Bi as-Sunnah karya al-Suyuthi, cetakan kelima tahun 1415H terbitan al-Jâmi’ah al-Islamiyah Madinah2. Zawâbigh Fî Wajhi as-Sunnah Qadiman wa Haditsan, Sholahuddin Maqbûl Ahmad, cetakan pertama tahun 1411 H, Islamic Sceintific Research Academy, Newdelhi, India, hal. 7-83. As-Sunnah wa Makânatuha Fî al-Tasyri’ al-Islami, Musthofa as-Sibaa’I, cetakan keempat tahun 1405 H , al-Maktab al-Islami, Baerut, hal. 156.4. Tadwin as-Sunnah An-nabawiyah, Nasy’atuhu wa Tathawwuruhu, DR. Muhammad bin Mathor az-Zahrôni, cetakan kedua tahun 1419H, Dar al-Khudhairi, Madinah Nabawiyah5. Manhaj al-Muhadditsin Fî Taqwiyât al-Ahâdits al-Hasanah wa al-Dho’ifah, DR. al Murtadho al-Zein Ahmad, cetakan pertama tahun 1415 H , Maktabah ar-Rusyd6. Ma’rifat ‘Ulûm al-Hadits, Al-Hâkim Abu Abdillah Muhammad bin Abdillah an-naisâburi, tahqiq DR. as-Sayyid Mu’azhzhom Husein. Cetakan kedua tahun 1397 H, Dar al-Kutub al-Ilmiyah, Bairut7. Dirâsât Fî al-Jarh Wa Ta’dil, DR Muhammad Dhiya’urrahman al-A’zhomi, cetakan keempat tahun 1419H, Maktabag al-Ghurabâ’ al-Atsariyah, madinah.











jazakumullah